BAB I
PENDAHULUAN
Muhammad Iqbal merupakan sosok pemikir multi disiplin. Di dalam dirinya
berhimpun kualitas kaliber internasional sebagai seorang sastrawan, negarawan,
ahli hukum, pendidik, filosof dan mujtahid. Sebagai pemikir Muslim dalam arti
yang sesungguhnya, Iqbal telah merintis upaya pemikiran ulang terhadap Islam
demi kemajuan kaum muslimin. Islam sebagai way of life yang lengkap
mengatur kehidupan manusia, ditantang untuk bisa mengantisipasi dan mengarahkan
gerak dan perubahan tersebut agar sesuai dengan kehendak-Nya. Oleh sebab itu,
Islam dihadapkan kepada masalah signifikan, yaitu sanggupkah Islam memberi
jawaban yang cermat dan akurat dalam mengantisipasi gerak dan perubahan ini.
Iqbal tidaklah menetapkan suatu pandangan praktis dalam filsafatnya, namun
ia berusaha mengubah cara pandang kaum muslimin yang selama ini terjebak dalam
cara pandang yang statis dalam memandang dunia. Namun karena kehidupan manusia
yang cenderung dinamis malah menjadikan umat Islam menjadi pembebek terhadap
Bangsa Barat, dengan menanggalkan baju keislaman mereka. Dari sinilah Iqbal
merekonstruksi paradigma kaum muslimin agar mampu hidup dalam dinamika
kehidupan yang normal namun tetap dalam koridor sebagai seorang muslim yang
mengabdi kepada Tuhannya. Ia berusaha untuk memajukan peradaban Islam secara
ekonomi maupun spiritual dengan cara mengikuti gerak perkembangan zaman dan tanpa
meninggalkan ciri khas ke Islamannya.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Biografi Muhammad Iqbal
Muhammad Iqbal lahir pada tanggal 9 November 1877 di Sialkot (India
Inggris), sekarang Pakistan, Muhammad Iqbal berasal dari golongan
menengah di Punjab. Ia adalah seorang penyair, filsuf dan politisi yang
menguasai bahasa Urdu, Arab, dan Persia. Dia adalah inspirator kemerdekaan
bangsa India menjadi Pakistan.[1]
Untuk meneruskan studinya ia pergi ke Lahore dan belajar di sana sampai
ia memperoleh gelar kesarjanaan M.A. Di kota itulah ia berkenalan dengan Thomas
Arnold, seorang orientalis yang menurut keterangan mendorong pemuda Iqbal untuk
melanjutkan studi di Inggris. Di tahun 1905 ia pergi ke negara ini
dan masuk ke universitas Cambridge untuk mempelajari filsafat. Dua tahun
kemudian ia pindah ke Munich di Jerman, dan di sanalah ia memperoleh gelar
Ph.D. dalam tasawuf. Tesis doctoral yang dikemukakannya berjudul : The
Development of Methaphysics in Persia (Perkembangan Metafisika di
Persia). Dan pada tahun 1908, ia kembali ke Lahore.
Di samping pekerjaannya sebagai pengacara, ia menjadi dosen
filsafat. Bukunya The Reconstruction of Religious Thought in Islam
adalah hasil ceramah-ceramah yang diberikannya di beberapa
universitas di India. Kemudian ia memasuki bidang politik dan di tahun 1930
dipilih menjadi presiden liga muslim.
Di dalam perundingan meja bundar di London, ia turut dua kali
mengambil bagian. Ia juga menghadiri konferensi Islam yang diadakan di
Jarussalem. Di tahun 1933, Ia di undang ke Afghanistan untuk membicarakan
pembentukan Universitas Kabul. Dalam usia 62 tahun tepatnya di tahun 1938, ia
meninggal.
2. Karya dan Filsafat Muhammad Iqbal
Agak sulit memetakan Iqbal sebagai seorang filsuf murni dibanding dengan
filsuf lainnya. Hal ini disebabkan ia lebih fokus pada sastra dan politik dibanding
kajian filsafat. Tak heran, kalau Iqbal dikenal sebagai penyair politisi dalam
kasus kemerdekaan bangsa India dari Inggris. Meskipun demikian, secara khusus
Iqbal menulis kajian filsafat dalam bukunya dengan tema “The Philosophical
Test of the Revelations of Religious Experience”. Dalam topik ini, tampak
teori Iqbal tentang filsafat dalam bentuk teori dinamika. Pemikiran Iqbal ini
didasari dari berbagai teori ilmu alam yang telah disampaikan oleh para tokoh
dunia sebelumnya, seperti Einstein, Newton, dan sebagainya. Sehingga Iqbal
berkesimpulan bahwa dunia (pemikiran) ini adalah dinamis.
Lebih lanjut Iqbal menjelaskan pentingnya arti dinamika dalam hidup.
Tujuan akhir setiap manusia adalah hidup, keagungan, kekuatan dan kegairahan.
Teori dinamika Iqbal ini diawali dengan kesadaran sendiri bahwa kita ini harus
bangkit dari keterpurukan. Konsep sendiri inilah yang menjadi dasar teori
dinamika Iqbal.[2]
Iqbal mewariskan banyak karya tulis, berbentuk prosa, puisi, jawaban atas
tanggapan orang atau kata pengantar bagi karya orang lain. Kebanyakan
karya-karya ini menggunakan bahasa Persia, menurut Nicholson, agar bisa di
akses oleh dunia Islam, tidak hanya masyarakat India. Sebab saat itu, bahasa
Persi adalah bahasa yang dominan di dunia Islam dan dipakai masyarakat
terpelajar. Karya-karyanya antara lain:[3]
a) The Development of Metaphysic in Persia (desertasi, terbit di London,
1908)
b) Asra-I Khudi (Lahore, 1916, tentang proses mencapai insane kamil)
c) Rumuz I-Bukhudi (Lahore, 1918)
d) Javid Nama (Lahore, 1932)
e) The Reconstruction of Religius Thought in Islam (London, 1934)
f) Musafir (Lahore, 1936)
g) Zarb-I Kalim (Lahore, 1937)
h) Bal-I Jibril (Lahore, 1938)
i) Letters and Writings of Iqbal (Karachi, 1967, kumpulan surat dan artikel
Iqbal).
3. Paham Dinamisme Muhammad Iqbal
Pemikirannya mengenai kemunduran dan kemajuan umat Islam mempunyai
pengaruh pada gerakan pembaharuan dalam Islam. Sama dengan pembaharu-pembaharu
lain, ia berpendapat bahwa kemunduran umat Islam selama 500 tahun terakhir
disebabkan oleh kebekuan dalam pemikiran. Hukum dalam Islam telah sampai pada
keadaan statis. Kaum konservatif dalam Islam berpendapat bahwa rasionalisme
yang ditimbulkan golongan muktazilah akan membawa pada disintegrasi dan dengan
demikian berbahaya bagi kestabilan Islam sebagai kesatuan politik. Untuk
memelihara kesatuan itu, kaum konservatif tersebut lari ke syariat sebagai alat
yang ampuh untuk membuat umat tunduk dan diam.
Sebab lain terletak pada pengaruh zuhud yang terdapat dalam ajaran
tasawuf. Menurut tasawuf yang mementingkan zuhud, perhatian harus dipusatkan
pada tuhan dan apa yang berada di balik alam materi. Hal itu akhirnya membawa kepada keadaan
umat yang kurang mementingkan soal kemasyarakatan dalam Islam.
Sebab utama ialah hancurnya Baghdad, sebagai pusat kemajuan pemikiran umat
Islam dipertengahan abad ke-13. Untuk mengelakkan disintegrasi yang lebih
dalam, kaum konservatif melihat bahwa perlu diusahakan dan dipertahankan
keseragaman hidup sosial dari seluruh umat. Untuk itu mereka menolak segala
pembaharuan dalam bidang syariat dan berpegang teguh pada hukum-hukum yang telah
ditentukan ulama terdahulu. Pintu ijtihad mereka tutup.
Hukum dalam Islam sebenarnya menurut Iqbal, tidak bersifat statis, tetapi dapat berkembang
sesuai dengan perkembangan zaman. Pintu ijtihad tidak pernah tertutup. Yang
pertama berontak terhadap pendapat bahwa keempat madzhab telah membahas segala
persoalan secara final dan dengan demikian ijtihad tidak diperlukan lagi,
adalah Ibnu Taimiyah yang lahir pada tahun 1263, yaitu lima tahun sesudah
jatuhnya Baghdad. Pendapat bahwa pintu ijtihad tidak tertutup di anut kemudian
oleh Muhammad Abdul Wahab. Pada zaman modern, ijtihad telah semenjak lama
dijalankan di Turki. Di antara semua Negara Islam, barulah umat Islam Turkilah yang melepaskan diri dari
belenggu dogmatisme. Dan bangsa Turki pulalah yang mempergunakan hak kebebasan
berfikir yang terdapat dalam Islam.
Al-qur’an senantiasa menganjurkan pemakaian akal terhadap ayat atau tanda
yang terdapat dalam alam seperti matahari, bulan, pertukaran siang menjadi
malam dan sebagainya. Orang yang tidak peduli dan tidak memperhatikan
tanda-tanda itu akan tinggal buta terhadap masa yang akan datang. Yang pada
akhirnya hanya melahirkan manusia-manusia yang memahami Al-qur’an sebatas hukum
dalam syari’ah saja, tanpa menghiraukan kemu’jizatan-kemu’jizatan lain dalam Al-qur’an,
seperti i’jazul ilmi.
Konsep Islam mengenai alam adalah senantiasa berkembang. Islam menolak
konsep lama yang mengatakan bahwa alam ini bersifat statis. Islam
mempertahankan konsep dinamisme dan mengakui adanya gerak dan perubahan dalam
hidup sosial manusia. Kemajuan serta kemunduran di buat tuhan silih berganti
diantara bangsa-bangsa yang mendiami bumi ini, menurut Iqbal mengandung arti
dinamisme. Dan prinsip yang dipakai dalam soal gerak dan perubahan itu adalah
ijtihad. Ijtihad mempunyai kedudukan penting dalam pembaharuan dalam Islam.
Paham dinamisme Islam yang ditonjolkan inilah yang membuat Iqbal mempunyai
kedudukan penting dalam pembaharuan di India. Dalam syair-syairnya ia mendorong
umat Islam supaya bergerak dan jangan tinggal diam. Intisari hidup adalah
bergerak, sedang hukum hidup ialah menciptakan, maka Iqbal berseru kepada umat
Islam supaya bangun dan menciptakan dunia baru. Karena tingginya ia menghargai
gerak, hingga ia menyebut bahwa kafir yang aktif lebih baik dari muslim yang suka
tidur.[4]
Dalam pembaharuannya Iqbal tidak berpendapat bahwa Baratlah yang
harus dijadikan model. Kapitalisne dan imperialism barat tidak dapat
diterimanya. Barat menurut penilaiannya, amat banyak di pengaruhi oleh
materialisme dan telah mulai meniggalkan agama. Yang harus diambil umat Islam
dari barat hanyalah ilmu pengetahuannya. Ia tidak suka dengan hal yang berbau
materialistis, seperti telah disinggung, bahwa Muhammad Iqbal adalah adalah seorang
nasionalis India. Tapi, kemudian ia ubah pandangannya. Nasionalisme ia tentang,
karena dalam nasionalisme seperti yang ia jumpai di Eropa, ia melihat bibit
materialism dan atheisme dan menurutnya, keduanya merupakan ancaman besar bagi
peri kemanusiaan.
Kalau kapitalisme ia tolak, sosialisme barat ia terima. Ia bersikap
simpatik terhadap gerakan sosialisme ia melihat ada persamaan. Dalam hubungan
ini ia pernah mengatakan “karena Bolsyevisme Tambah tuhan hampir identik dengan Islam, maka saya tidak
terperanjat kalau suatu ketika Islam menelan Rusia atau sebaliknya”. Iqbal
tidak begitu saja mau menerima apa yang datang dari barat. [5]
4. Reformasi Pemikiran Keagamaan
Reformasi pemikiran keagamaan dalam Islam, menurut Iqbal di dasarkan
kepada adanya tuntutan untuk mengubah posisi yang dicapai umat Islam kini,
posisi yang lemah dan takut serta lari dari kehidupan nyata. Ia berdasarkan
pada prinsip perjuangan melawan kekhawatiran menghadapi kehidupan dan
ketidakmampuan menguasai alam dan materi. Ia berjuang melawan “wihdatul wujud”
yang mengajak manusia untuk melebur diri dalam realitas mutlak (Tuhan) dan
fatalisme dalam hidup. Reformasi keagamaan berarti pengokohan atas “aku” dan
kepribadian manusia, agar tidak lebur dan tidak juga dikuasai. Ia menuntut
adanya “personalitas” itu, serta menuntut sikap “realistik” dalam arti tidak
lari dari kehidupan. Realisme yang dituntut itu bukanlah “arti Tuhan” yang
materialistic-positivis, tapi artinya menjauhkan diri dari “Brahmaisme, Sufisme
Isyraqisme atau Sufisme Persia”.[6]
Ide reformasi yang digoncarkan Iqbal sebenarnya di
dasarkan atas dua elemen yang sangat prinsipil, yaitu:
1. Perubahan pemahaman terhadap alam atau kenyataan. Yaitu usaha
mengembalikan pemahaman itu kepada pemahaman umat Islam terdahulu, bahwa dunia
ini lapangan usaha, gerak, dan pengetahuan manusia. Jadi, ia bukanlah suatu
yang harus ditakuti atau dianggap buruk.
2. Pengungkapan beberapa prinsip-prinsip Islam yang semuanya merupakan
faktor-faktor yang mendorong manusia bergerak dan berusaha di alam nyata ini.
Jadi
Iqbal dengan gerakan reformasi pemikiran keagamaan dalam Islam itu,
menginginkan kembalinya kejayaan bagi umat Islam. Kejayaan bukan lantaran
mengikuti salah satu filsafat barat, tapi karena pemahaman yang benar tentang
Islam seperti pemahaman orang-orang muslim pertama.
Pemahaman yang benar tentang Islam, menurut Iqbal menjadikan alam materi dan
alam nyata bukan suatu yang keji tapi sebagai lapangan perjuangan demi
personalitas. Dengan alam yang realis itu maka kepribadian menjadi kuat, dengan
perjuangan dalam dunia ini ia akan tetap eksis dan abadi. Jadi, keabadian
personalitas menurut Iqbal adalah melalui perjuangan, dengan menundukkan segala
rintangan bukan lari dari padanya. [7]
Selain
itu, menjadikan wujud ini sebagai satu kesatuan. Keadaan kesatuan itu sebagai
satu mata rantai yakni Allah, manusia, dan alam. Wujud ini satu hakikat, yang
memiliki asal dan gejala. Tapi, ia tidak bersatu, satu kesatuan dalam wujud ini
tidak dapat dilebur dalam kesatuan lainnya. Jadi pandangan Islam terhadap wujud
ini yakni mengajak manusia untuk mengadakan hubungan antara dua hakikat.
Hakikat zat universal (Allah) dan hakikat dunia luar yang dianggap penampakan
hakikat pertama. Hal itu adalah dengan menggunakan metode empiris, bahwa
realitas internal dalam diri manusia, realitas (hakikat yang dicapai seorang
sufi melalui latihan spiritual), membantu pengungkapan hakikat luar.
Iqbal
adalah seorang sufi yang cenderung kepada “wihdat al wujud”. Ia
mengutamakan latihan-latihan sufistik sebagai jalan untuk membersihkan diri dan
sebagai jalan untuk mencapai dan mendekatkan diri kepada zat yang maha tinggi.
Melihat kelemahan pada umat Islam sebagai individu dan jama’ah, ia melihat
adanya kebekuan pemahaman umat Islam terhadap agamanya, ia melihat kelesuan umat
Islam khususnya di India dalam menghadapi kehidupan nyata.
Iqbal
memotivasi manusia yang pasif dan lemah untuk berusaha dalam kehidupan dengan
kekuatannya. Jadi, yang menjadi motivasi adalah kekuatan personalnya, kekuatan
individual yang terdapat pada dirinya, kekuatan konstruktif dan kreatif. Ketika
itu Iqbal tampak sebagai pembela individualisme karena terpengaruh oleh Hegel
dengan pemikirannya yang didasarkan atas “aku”, Nietzsche dengan idenya yang
mengagung-agungkan kekuatan individual, serta Fichte yang menyatakan bahwa
masyarakat tergantung kepada kekuatan dan usaha
individu.
Sesungguhnya individualisme dihargai dan diberi kemerdekaan dalam Islam. Jadi
keluarga, masyarakat, dan Negara menurut pandangan agama Islam tidak bisa
menggencet individualisme dan kemerdekaannya. Dengan konsep wihdat al wujud,
Muhammad Iqbal ingin memadukan antara spiritualisme dengan realitas, antara
agama dan Negara. Jadi pemisahan antara Allah dan alam fisik menurut Iqbal pada
hakikatnya adalah pemisahan antara agama dan Negara. Pemisahan seperti itu
tidak diajarkan dalam Islam, sebab kebenaran dalam Islam hanyalah satu.
Nasabnya adalah Allah dan spiritualisme, sedangkan gejalanya adalah alam dan
benda nyata.[8]
5.
Faktor Munculnya
Pemikiran Reformasi Iqbal.[9]
Pada dasarnya, seperti yang telah dipaparkan sebelumnya,
ada satu hal yang menjadi faktor pendorong Iqbal mengemukakan pemikiran
reformasinya, yakni kemunduran umat Islam dalam peranannya menguasai alam
nyata, kelemahan mereka di bidang materi dan ekonomi, serta kelemahan spiritual
mereka. Terdapat salah pengertian umat Islam terhadap agama Islam yang timbul
karena mereka mencampur-adukkan dengan ajaran lain dan kejumudan mereka
memahami makna Islam sebenarnya. Menurut mereka alam ini harus di hindari, dan
materi adalah hal yang harus di jauhi. Menurut Iqbal, aliran Sukisme Iran yang
menjauhkan umat Islam dari kehidupan materi.
Faktor-faktor lainnya yaitu:
a. Kondisi umat Islam
Iqbal menerangkan tentang kondisi umat Islam
pada masanya, yang terombang-ambing antara kehidupan kolot yang gelap dan
kehidupan baru yang cemerlang, seperti di barat.
b. Bangsa Eropa
Namun, di lain pihak, Iqbal tidak
rela jika umat Islam yang harus mengubah posisinya untuk bercermin kepada
Bangsa Eropa seperti yang diharapkan diharapkan penulis buku Mustaqbal
As-Staqafah Fi Misr, yang mengharapkan umat Islam meniru Bangsa Eropa dalam
tindakan dan pemikirannya.[10]
Pemikiran Filsafat Iqbal Tentang Keindahan
Dalam pemikiran filsafat Iqbal, pusat dan landasan organisasi kehidupan manusia
adalah ego yang dimaknai sebagai seluruh cakupan pemikiran dan kesadaran tentang
kehidupan. Ia senantiasa bergerak dinamis untuk menuju kesempurnaan dengan cara
mendekatkan diri pada ego mutlak, Tuhan. Karena itu, kehidupan manusia dalam
ke-egoannya adalah perjuangan terus menerus menaklukkan rintangan dan halangan
demi tercapainya ego tertinggi. Dalam hal ini, karena rintangan terbesar adalah
benda atau alam, manusia harus menumbuhkan instrument-instrumen tertentu dalam
dirinya, misalnya daya indera, daya nalar, dan lainnya yang membantu
menyesuaiakan penghalang-penghalangnya. Keindahan tidak lain adalah bentuk dari
ekspresi kehendak, hasrat, dan cinta ego dalam mencapai ego mutlak tersebut.
Pemikiran Filsafat Iqbal Tentang seni.[11]
Dalam pemikiran filsafat, gagasan seni Iqbal disebut sebagai estetika
vitalisme, yakni bahwa seni dan keindahan merupakan ekspresi ego dalam kerangka
prinsip-prinsip universal dari suatu dorongan hidup yang berdenyut di balik
kehidupan sehingga harus juga memberikan kehidupan baru atau memberikan
semangat hidup bagi lingkungannya, atau bahkan mampu memberikan “hal baru” bagi
kehidupan. Dengan menawan sifat-sifat Tuhan dalam penyempurnaan kualitas
dirinya, manusia harus mampu menjadi “saingan” Tuhan. Di sinilah hakekat
pribadi yang hidup dalam diri manusia dan menjadi kebanggaannya dihadapan
Tuhan.
Bagi Iqbal, manusia adalah pencipta bukan peniru, dan pemburu bukan
mangsa, sehingga hasil karya seninya harus menciptakan ‘apa yang seharusnya’
dan ‘apa yang belum ada’, bukan sekedar menggambarkan ‘apa yang ada’. Dalam
salah satu puisinya, Iqbal mengecam dan menyebut sebagai kematian terhadap seni
Timur yang meniru seni Barat.
Konsep-konsep seni dan keindahan Iqbal tersebut hampir sama dengan teori seni Benedetto Croce (1866-1952 M), seorang pemikir Italia yang sezaman dengan Iqbal. Menurutnya, seni adalah kegiatan kreatif yang tidak mempunyai tujuan dan juga tidak mengejar tujuan tertentu kecuali keindahan itu sendiri, sehingga tidak berlaku kriteria kegunaan, etika dan logika. Kegiatan seni hanya merupakan penumpahan perasaan-perasaan seniman, visi atau intuisinya, dalam bentuk citra tertentu, baik dalam bentuk maupun kandungan isinya. Jika hasil karya seni ini kemudian diapresiasi oleh penanggap, hal itu disebabkan karya seni tersebut membangkitkan intuisi yang sama pada dirinya sebagaimana yang dimiliki oleh sang seniman. Dengan pernyataan seperti ini, teori Croce berarti terdiri atas empat hal, yaitu:[12]
Konsep-konsep seni dan keindahan Iqbal tersebut hampir sama dengan teori seni Benedetto Croce (1866-1952 M), seorang pemikir Italia yang sezaman dengan Iqbal. Menurutnya, seni adalah kegiatan kreatif yang tidak mempunyai tujuan dan juga tidak mengejar tujuan tertentu kecuali keindahan itu sendiri, sehingga tidak berlaku kriteria kegunaan, etika dan logika. Kegiatan seni hanya merupakan penumpahan perasaan-perasaan seniman, visi atau intuisinya, dalam bentuk citra tertentu, baik dalam bentuk maupun kandungan isinya. Jika hasil karya seni ini kemudian diapresiasi oleh penanggap, hal itu disebabkan karya seni tersebut membangkitkan intuisi yang sama pada dirinya sebagaimana yang dimiliki oleh sang seniman. Dengan pernyataan seperti ini, teori Croce berarti terdiri atas empat hal, yaitu:[12]
1) bahwa seni adalah kegiatan yang sepenuhnya mandiri dan
bebas dari segala macam pertimbangan etis
2) bahwa kegiatan seni berbeda dengan kegiatan intelek. Seni
lebih merupakan ekspresi diri atas pengalaman individu (intuitif) dan
menghasilkan pengetahuan langsung dalam bentuk individualitas kongkrit, sedang
intelek lebih merupakan kegiatan analitis dan menghasilkan pengetahuan
reflektif.
3) bahwa kegiatan seni ditentukan oleh perkembangan
kepribadian seniman
4) bahwa apresiasi adalah penghidupan kembali
pengalaman-pengalaman seniman didalam diri penanggap.
Pandangan
seni Iqbal tidak berbeda dengan teori Croce tersebut, kecuali pada bagian
pertama. Iqbal menolak keras kebebasan seni dan keterlepasaannya dari etika.
Iqbal justru menempatkan seni dibawah kendali moral, sehingga tidak ada yang
bisa disebut seni betatapun ekspresifnya kepribadian sang seniman kecuali jika
mampu menimbulkan nilai-nilai yang cemerlang, menciptakan harapan-harapan baru,
kerinduan dan aspirasi baru bagi peningkatan kualitas hidup manusia dan
masyarakat. Dengan demikian, gagasan seni Iqbal tidak hanya ekspresional tetapi
sekaligus juga fungsional.
Pada
masa Iqbal, setidaknya ada dua gerakan yang berkaitan dengan seni
1. Gerakan anti fungsionalisme, yakni gerakan yang menyatakan bahwa seni
tidak mempunyai tujuan dan tidak mengejar tujuan diluar dirinya, karena ia
adalah tujuan itu sendiri. Slogannya yang terkenal adalah seni untuk seni (part
pour part). Maksudnya, kualitas yang khusus dari seni adalah keindahan, dan ia
sekaligus merupakan nilai dasarnya yang absolute, menyeluruh, dan tertinggi,
mengalahkan nilai-nilai lainnya, harta kebenaran dan kebaikan.
2. Gerakan yang dipelopori oleh psikolog Johan Fredrich Herbart yang kemudian
dilanjutkan oleh Hanslick Fielder, Clive Bell dan Roger Fry. Gerakan ini
membedakan antara kandungan dan bentuk seni. Menurutnya, kandungan seni tidak
mempunyai nilai estetik, tetapi hanya sekedar alat untuk menimbulkan efek
artistik. Apa yang disampaikan lewat seni, baik atau buruk, benar atau salah,
sesuai dengan hokum atau tidak, tidak menjadi masalah dan tidak berpengaruh
pada nilai seni; yang penting adalah bagaimana penyampaiannya, pada bentuknya.
Iqbal menolak kedua model gerakan tersebut. Baginya, seni tanpa kandungan
emosi, kemauan dan gagasan-gagasan tidak lebih dari apai yang telah padam.
Sesuia dengan konsepnya tentang kepribadian, kemauan adalah sumber utama dalam
pandangan seni Iqbal, sehingga seluruh isi seni-sensasi, perasaan, sentiment,
ide-ide dan ideal-ideal harus muncul dari sumber ini. Karena itu, seni tidak
sekedar gagasan intelektual atau bentuk-bentuk estetika melainkan pemikiran yang
dibumbui emosi dan mampu menggetarkan manusia.
6. Gagasan dan Pemikiran Muhammad Iqbal.[13]
Methafisika
Dalam pemikiran filsafat, Iqbal mengumandangkan misi kekuatan dan kekuasaan Tuhan, selain itu beliau juga menyatakan bahwasanya pusat dan landasan organisasi kehidupan manusia adalah ego yang dimaknai sebagai seluruh cakupan pemikiran dan kesadaran tentang kehidupan. Ia senantiasa bergerak dinamis untuk menuju kesempurnaan dengan cara mendekatkan diri pada ego mutlak, Tuhan. Karena itu, kehidupan manusia dalam keegoanya adalah perjuangan terus menerus untuk menaklukkan rintangan dan halangan demi tergapainya Ego Tertinggi. Dalam hal ini, karena rintangan yang terbesar adalah benda atau alam, maka manusia harus menumbuhkan instrumen-instrumen tertentu dalam dirinya, seperti daya indera, daya nalar dan daya-daya lainnya agar dapat mengatasi penghalang-penghalang tersebut. Selain itu, manusia juga harus terus menerus menciptakan hasrat dan cita-cita dalam kilatan cinta (`isyq), keberanian dan kreativitas yang merupakan essensi dari keteguhan pribadi. Seni dan keindahan tidak lain adalah bentuk dari ekspresi kehendak, hasrat dan cinta ego dalam mencapai Ego Tertinggi tersebut.
Kendati mengumandangkan misi kekuatan dan kekuasaan Tuhan, namun Iqbal tidak menjadikannya membunuh ego kreasi yang bersemayam di kedalaman diri. Ia selalu membuka katup cakrawala pemikirannya atas dunia di luar Islam (terutama Barat).
Dalam pemikiran filsafat, Iqbal mengumandangkan misi kekuatan dan kekuasaan Tuhan, selain itu beliau juga menyatakan bahwasanya pusat dan landasan organisasi kehidupan manusia adalah ego yang dimaknai sebagai seluruh cakupan pemikiran dan kesadaran tentang kehidupan. Ia senantiasa bergerak dinamis untuk menuju kesempurnaan dengan cara mendekatkan diri pada ego mutlak, Tuhan. Karena itu, kehidupan manusia dalam keegoanya adalah perjuangan terus menerus untuk menaklukkan rintangan dan halangan demi tergapainya Ego Tertinggi. Dalam hal ini, karena rintangan yang terbesar adalah benda atau alam, maka manusia harus menumbuhkan instrumen-instrumen tertentu dalam dirinya, seperti daya indera, daya nalar dan daya-daya lainnya agar dapat mengatasi penghalang-penghalang tersebut. Selain itu, manusia juga harus terus menerus menciptakan hasrat dan cita-cita dalam kilatan cinta (`isyq), keberanian dan kreativitas yang merupakan essensi dari keteguhan pribadi. Seni dan keindahan tidak lain adalah bentuk dari ekspresi kehendak, hasrat dan cinta ego dalam mencapai Ego Tertinggi tersebut.
Kendati mengumandangkan misi kekuatan dan kekuasaan Tuhan, namun Iqbal tidak menjadikannya membunuh ego kreasi yang bersemayam di kedalaman diri. Ia selalu membuka katup cakrawala pemikirannya atas dunia di luar Islam (terutama Barat).
Estetika
Berdasarkan konsep kepribadian
yang memandang kehidupan manusia yang berpusat pada ego inilah, Iqbal memandang
kemauan adalah sumber utama dalam seni, sehingga seluruh isi seni-sensasi,
perasaan, sentimen, ide-ide dan ideal-ideal- harus muncul dari sumber ini.
Karena itu, seni tidak sekedar gagasan intelektual atau bentuk-bentuk estetika
melainkan pemikiran yang lahir berdasarkan dan penuh kandungan emosi sehingga
mampu menggetarkan manusia (penanggap). Seni yang tidak demikian tidak lebih
dari api yang telah padam. Karena itu, Iqbal memberi kriteria tertentu pada
karya seni ini. Pertama, seni harus merupakan karya kreatif sang seniman,
sehingga karya seni merupakan buatan manusia dalam citra ciptaan Tuhan. Ini
sesuai dengan pandangan Iqbal tentang hidup dan kehidupan. Menurutnya, hakekat
hidup adalah kreativitas karena dengan sifat-sifat itulah Tuhan sebagai sang
Maha Hidup mencipta dan menggeraksan semesta. Selain itu, hidup manusia pada
dasarnya tidaklah terpaksa melainkan sukarela, sehingga harus ada kreativitas
untuk menjadikannya bermakna. Karena itu, dalam pandangan Iqbal, dunia bukan
sesuatu yang hanya perlu dilihat atau dikenal lewat konsep-konsep tetapi
sesuatu yang harus dibentuk dan dibentuk lagi lewat tindakan-tindakan nyata.
Etika
Dalam filsafat tentang etika Iqbal menghimbau masyarakat timur (umat Islam), untuk kembali kepada ajaran Islam yang agung serta menjauhi peradaban Barat (Eropa) yang merusak. Iqbal memandang bahwasanya sebab kemunduran umat Islam adalah kecendrungan yang membabibuta terhadap kebudayaan Barat yang telah membunuh karakter mereka dengan terus mengadopsi budaya-budaya Barat tanpa proses filterisasi.
Iqbal mengungkapkan pandangannya terhadap budaya Barat.
Dalam filsafat tentang etika Iqbal menghimbau masyarakat timur (umat Islam), untuk kembali kepada ajaran Islam yang agung serta menjauhi peradaban Barat (Eropa) yang merusak. Iqbal memandang bahwasanya sebab kemunduran umat Islam adalah kecendrungan yang membabibuta terhadap kebudayaan Barat yang telah membunuh karakter mereka dengan terus mengadopsi budaya-budaya Barat tanpa proses filterisasi.
Iqbal mengungkapkan pandangannya terhadap budaya Barat.
7. Pandangan Kreatif Muhammad Iqbal Tentang Pendidikan.[14]
Dari apa yang telah dibahas di atas, jelas bahwa seorang muslim haruslah
menerjemahkan konsepsi tentang tata kehidupan sosial yang progresi dan
manusiawi tersebut kedalam berbagai gaya yang selaras dengan waktu dan tempat
yang nyata. Hal ini akan dapat menghindari berbagai perusakan dan destruksi,
konflik dan ketidakadilan yang melanda umat manusia dan dapat di pandang
sebagai salah satu ciri khas abad modern dewasa ini.
Pertama-tama Muhammad Iqbal mengundang kaum muslim untuk mengambil kendali
dan bertindak sebagai pimpinan menata kembali kehidupan social ini, karena,
menurut pandangan Iqbal, berkat tradisi religius dan filosofisnya, mereka akan
dapat menghargai dan menyetujui ide-ide dan nilai-nilai yang bertautan
dengannya. Iqbal sama sekali tidak menghendaki kalau-kalau kaum muslim
menyembunyikan nilai-nilai tersebut. Nilai-nilai itu berlaku secara universal.
Sebab ciri universal ini merupakan ciri hakiki dari semua ide kreatif yang di
sumbangkan Islam untuk memperbaiki kehidupan ini.
Dalam menggali dan mengkomunikasikan nilai-nilai inilah di dapatkan
peranan yang harus di mainkan oleh pendidikan, akan tetapi pendidikan tersebut
hendaknya merupakan suatu pendidikan yang dapat dijiwai semangat sebagai sumber
inspirasi bagi tata kehidupan sosial dan kebudayaan. [15]
Menurut Iqbal, pendidikan itu harus dinamis dan kreatif dan di arahkan
untuk memupuk dan memberikan kesempatan gerak pada semangat kreatif yang
bersemayam dalam diri manusia serta mempersenjatainya dengan kemauan dan
kemampuan unutuk menguasai bidang seni dan bidang ilmu yang baru. Jadi,
pendidikan di maksudkan hendaknya merupakan pendidikan yang di ilhami oleh
suatu keyakinan yang optimis tentang tujuan akhir manusia.
Ilmu pengetahuan mengambil tempat yang penting dalam hal ini. Dengan
demikian manusia tidak hanya mampu menguasai alam, akan tetapi mampu juga
mengawasi dan mengendalikan metode-metode ilmiah yang merupakan alat baginya
untuk menjelajah dan menata kembali dunianya. Pendidikan tersebut kiranya tidak
akan memberikan tempat kepada sikap ilmiah yang semu.
Dalam pada itu pendidikan tersebut hendaknya tidak pula menciptakan suatu
antitesis yang rancu antara system nilai yang diwakili ilmu pengetahuan dengan
system nilai yang diwakili agama. Sehubungan dengan ini pendirian Iqbal sangat
jelas dan tandas. Pada satu fihak ia mengakui adanya bobot dan makna yang
praktis dan intelektual dari ilmu pengetahuan, dalam zaman modern ini, dan
sebagai konsekuensinya di akuinya pula bobot dan maknanya bagi pendidikan. Akan
tetapi di lain fihak Iqbal menyadari benar, bahwa ilmu pengetahuan itu hanyalah
mampu menangkap tanggapan sesaat dari kenyataan dan oleh karena itu, ia hanya
mewakili salah satu metode saja tidak akan mampu memberikan gambaran yang menyeluruh
dan memuaskan kita mengenai dunia kenyataan atau realita.
Sebaliknya agama mengharapkan pemahaman mengenai kenyataan itu secara
menyeluruh. Oleh karena itu agama dalam mengolah dan memadukan segala data dari
pengalaman insani, agama hendaknya menduduki posisi yang pokok. Agama bukan
untuk dipertentangkan dengan ilmu pengetahuan, melainkan agama itu hendaknya di
pandang sebagai pelengkap yang mengimbangi pandangan yang didapatkan melalui
ilmu pengetahuan.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pemikiran tentang kemunduran umat Islam
merupakan titik awal dari pemikiran Muhammad Iqbal tentang sebuah rekonstruksi
baru dalam Islam, tentang sebuah wacana yang mungkin bagi sebagian orang Islam bukanlah
merupakan sesuatu yang amat baru. Iqbal mencoba untuk memperkenalkan sebuah
cara pandang berbeda tentang sikap yang menurutnya seharusnya dimiliki oleh
umat Islam, yaitu
pandangan tentang dinamisme kehidupan yang bersumber dari Al-qur’an, Artinya,
pandangan bahwa hidup itu gerak, begitu juga dengan hukum Islam selalu
bergerak selaras dengan perkembangan zaman. Ia berpendapat bahwa pintu ijtihad tidak
tertutup sebagaimana yang dikatakan oleh orang-orang konservatif yang terlalu
paranoid terhadap integritas Islam. Ia sangat memahami kompleksitas Al-qur’an. Ia sangat
menghargai gerak, karena besarnya penghargaanya terhadap gerak, hingga ia
menyebut orang kafir yang bergerak lebih baik dari pada muslim yang hanya tidur
tidak melakukan apa-apa.
Demikian juga pandangannya tentang pendidikan, Muhammad Iqbal mengundang
kaum muslim untuk mengambil kendali dan bertindak sebagai pimpinan menata kembali
kehidupan sosial ini, karena, menurut pandangan Iqbal, berkat tradisi religius dan
filosofisnya, mereka akan dapat menghargai dan menyetujui ide-ide dan
nilai-nilai yang bertautan dengannya. Iqbal sama sekali tidak menghendaki
kalau-kalau kaum muslim menyembunyikan nilai-nilai tersebut. Nilai-nilai itu
berlaku secara universal. Sebab ciri universal ini merupakan ciri hakiki dari
semua ide kreatif yang di sumbangkan Islam untuk memperbaiki kehidupan ini.
DAFTAR PUSTAKA
Al-bahiy, Muhammad, 1986, Pemikiran Islam Modern,
Jakarta: Pustaka Panjimas.
Dono Hue,
John, 1984, Islam Dan Pembaharuan Ensiklopedi Masalah-Masalah: Jakarta,
CV Raja Wali.
Saiyidain,
K.G, 1986, Percikan Filsafat Iqbal Mengenai Pendidikan, Bandung: CV.
Diponegoro.
Nasution,
Harun, 2003, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan,
Jakarta: Bulan Bintang.
Soleh, Khudori, 2004, Wacana Baru Filsafat Islam, Yogyakrata:
Pustaka Pelajar
Supriyadi, Dedi, 2009, Pengantar Filsafat Islam (Konsep, Filsuf dan
Ajarannya), Bandung: CV. Pustaka Setia.
Smith, W.C,
1963, Modernis in India, Lahore : Ashraf.
[1] Dedi
Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, Konsep, Filsuf dan Ajarannya, (Bandung:
CV. Pustaka Setia, 2009), hal 261
[2] Ibid,
hal.264
[3] Khudori
Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam,(Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2004) hal.
231
[4] W.C Smith, Modernis in India (Lahore :
Ashraf, 1963) Hal. 111
[6] Muhammad Al-Bahiy, Pemikiran Islam Modern, (Jakarta: Pustaka
Panjimas, 1986), hal. 263
[7]
Ibid., 264
[8] Ibid.,
266
[9] John
Donohue, Islam Dan Pembaharuan Ensiklopedi Masalah-Masalah, (Jakarta:
CV. Raja Wali, 1984)., hal 152
[10] Ibid., 154
[11] Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam,(Yogyakarta:Pustaka
Pelajar,2004), hal 233
[12] Ibid., 236
[13] Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam,
(Bandung:CV. Pustaka Setia, 2009) hal 268.
[14] K.G Saiyidain, Percikan Filsafat Iqbal
Mengenai Pendidikan, (Bandung:C.V. Diponegoro, 1986)Hal. 19
[15] Ibid.,
20
Tidak ada komentar:
Posting Komentar