Sabtu, 15 Maret 2014

muhammad iqbal




BAB I
PENDAHULUAN
Muhammad Iqbal merupakan sosok pemikir multi disiplin. Di dalam dirinya berhimpun kualitas kaliber internasional sebagai seorang sastrawan, negarawan, ahli hukum, pendidik, filosof dan mujtahid. Sebagai pemikir Muslim dalam arti yang sesungguhnya, Iqbal telah merintis upaya pemikiran ulang terhadap Islam demi kemajuan kaum muslimin. Islam sebagai way of life yang lengkap mengatur kehidupan manusia, ditantang untuk bisa mengantisipasi dan mengarahkan gerak dan perubahan tersebut agar sesuai dengan kehendak-Nya. Oleh sebab itu, Islam dihadapkan kepada masalah signifikan, yaitu sanggupkah Islam memberi jawaban yang cermat dan akurat dalam mengantisipasi gerak dan perubahan ini.
Iqbal tidaklah menetapkan suatu pandangan praktis dalam filsafatnya, namun ia berusaha mengubah cara pandang kaum muslimin yang selama ini terjebak dalam cara pandang yang statis dalam memandang dunia. Namun karena kehidupan manusia yang cenderung dinamis malah menjadikan umat Islam menjadi pembebek terhadap Bangsa Barat, dengan menanggalkan baju keislaman mereka. Dari sinilah Iqbal merekonstruksi paradigma kaum muslimin agar mampu hidup dalam dinamika kehidupan yang normal namun tetap dalam koridor sebagai seorang muslim yang mengabdi kepada Tuhannya. Ia berusaha untuk memajukan peradaban Islam secara ekonomi maupun spiritual dengan cara mengikuti gerak perkembangan zaman dan tanpa meninggalkan ciri khas ke Islamannya.















BAB II
PEMBAHASAN
1.        Biografi Muhammad Iqbal
Muhammad Iqbal lahir pada tanggal 9 November 1877 di Sialkot (India Inggris), sekarang Pakistan, Muhammad Iqbal  berasal dari golongan menengah di Punjab. Ia adalah seorang penyair, filsuf dan politisi yang menguasai bahasa Urdu, Arab, dan Persia. Dia adalah inspirator kemerdekaan bangsa India menjadi Pakistan.[1]
 Untuk meneruskan studinya ia pergi ke Lahore dan belajar di sana sampai ia memperoleh gelar kesarjanaan M.A. Di kota itulah ia berkenalan dengan Thomas Arnold, seorang orientalis yang menurut keterangan mendorong pemuda Iqbal untuk melanjutkan studi di Inggris. Di tahun 1905 ia pergi ke negara ini dan masuk ke universitas Cambridge untuk mempelajari filsafat. Dua tahun kemudian ia pindah ke Munich di Jerman, dan di sanalah ia memperoleh gelar Ph.D. dalam tasawuf. Tesis doctoral yang dikemukakannya berjudul : The Development of Methaphysics in Persia (Perkembangan Metafisika di Persia). Dan pada tahun 1908, ia kembali ke Lahore.
Di samping pekerjaannya sebagai pengacara, ia menjadi dosen filsafat. Bukunya The Reconstruction of Religious Thought in Islam adalah hasil ceramah-ceramah yang diberikannya di beberapa universitas di India. Kemudian ia memasuki bidang politik dan di tahun 1930 dipilih menjadi presiden liga muslim.   
Di dalam perundingan meja bundar di London, ia turut dua kali mengambil bagian. Ia juga menghadiri konferensi Islam yang diadakan di Jarussalem. Di tahun 1933, Ia di undang ke Afghanistan untuk membicarakan pembentukan Universitas Kabul. Dalam usia 62 tahun tepatnya di tahun 1938, ia meninggal.
2.        Karya dan Filsafat Muhammad Iqbal
Agak sulit memetakan Iqbal sebagai seorang filsuf murni dibanding dengan filsuf lainnya. Hal ini disebabkan ia lebih fokus pada sastra dan politik dibanding kajian filsafat. Tak heran, kalau Iqbal dikenal sebagai penyair politisi dalam kasus kemerdekaan bangsa India dari Inggris. Meskipun demikian, secara khusus Iqbal menulis kajian filsafat dalam bukunya dengan tema “The Philosophical Test of the Revelations of Religious Experience”. Dalam topik ini, tampak teori Iqbal tentang filsafat dalam bentuk teori dinamika. Pemikiran Iqbal ini didasari dari berbagai teori ilmu alam yang telah disampaikan oleh para tokoh dunia sebelumnya, seperti Einstein, Newton, dan sebagainya. Sehingga Iqbal berkesimpulan bahwa dunia (pemikiran) ini adalah dinamis.
Lebih lanjut Iqbal menjelaskan pentingnya arti dinamika dalam hidup. Tujuan akhir setiap manusia adalah hidup, keagungan, kekuatan dan kegairahan. Teori dinamika Iqbal ini diawali dengan kesadaran sendiri bahwa kita ini harus bangkit dari keterpurukan. Konsep sendiri inilah yang menjadi dasar teori dinamika Iqbal.[2]
Iqbal mewariskan banyak karya tulis, berbentuk prosa, puisi, jawaban atas tanggapan orang atau kata pengantar bagi karya orang lain. Kebanyakan karya-karya ini menggunakan bahasa Persia, menurut Nicholson, agar bisa di akses oleh dunia Islam, tidak hanya masyarakat India. Sebab saat itu, bahasa Persi adalah bahasa yang dominan di dunia Islam dan dipakai masyarakat terpelajar. Karya-karyanya antara lain:[3]
a)    The Development of Metaphysic in Persia (desertasi, terbit di London, 1908)
b)   Asra-I Khudi (Lahore, 1916, tentang proses mencapai insane kamil)
c)    Rumuz I-Bukhudi (Lahore, 1918)
d)   Javid Nama (Lahore, 1932)
e)    The Reconstruction of Religius Thought in Islam (London, 1934)
f)    Musafir (Lahore, 1936)
g)   Zarb-I Kalim (Lahore, 1937)
h)   Bal-I Jibril (Lahore, 1938)
i)     Letters and Writings of Iqbal (Karachi, 1967, kumpulan surat dan artikel Iqbal).
3.        Paham Dinamisme Muhammad Iqbal
Pemikirannya mengenai kemunduran dan kemajuan umat Islam mempunyai pengaruh pada gerakan pembaharuan dalam Islam. Sama dengan pembaharu-pembaharu lain, ia berpendapat bahwa kemunduran umat Islam selama 500 tahun terakhir disebabkan oleh kebekuan dalam pemikiran. Hukum dalam Islam telah sampai pada keadaan statis. Kaum konservatif dalam Islam berpendapat bahwa rasionalisme yang ditimbulkan golongan muktazilah akan membawa pada disintegrasi dan dengan demikian berbahaya bagi kestabilan Islam sebagai kesatuan politik. Untuk memelihara kesatuan itu, kaum konservatif tersebut lari ke syariat sebagai alat yang ampuh untuk membuat umat tunduk dan diam.
Sebab lain terletak pada pengaruh zuhud yang terdapat dalam ajaran tasawuf. Menurut tasawuf yang mementingkan zuhud, perhatian harus dipusatkan pada tuhan dan apa yang berada di balik alam materi. Hal itu akhirnya membawa kepada keadaan umat yang kurang mementingkan soal kemasyarakatan dalam Islam.
Sebab utama ialah hancurnya Baghdad, sebagai pusat kemajuan pemikiran umat Islam dipertengahan abad ke-13. Untuk mengelakkan disintegrasi yang lebih dalam, kaum konservatif melihat bahwa perlu diusahakan dan dipertahankan keseragaman hidup sosial dari seluruh umat. Untuk itu mereka menolak segala pembaharuan dalam bidang syariat dan berpegang teguh pada hukum-hukum yang telah ditentukan ulama terdahulu. Pintu ijtihad mereka tutup.
Hukum dalam Islam sebenarnya menurut Iqbal, tidak bersifat statis, tetapi dapat berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Pintu ijtihad tidak pernah tertutup. Yang pertama berontak terhadap pendapat bahwa keempat madzhab telah membahas segala persoalan secara final dan dengan demikian ijtihad tidak diperlukan lagi, adalah Ibnu Taimiyah yang lahir pada tahun 1263, yaitu lima tahun sesudah jatuhnya Baghdad. Pendapat bahwa pintu ijtihad tidak tertutup di anut kemudian oleh Muhammad Abdul Wahab. Pada zaman modern, ijtihad telah semenjak lama dijalankan di Turki. Di antara semua Negara Islam, barulah umat Islam Turkilah yang melepaskan diri dari belenggu dogmatisme. Dan bangsa Turki pulalah yang mempergunakan hak kebebasan berfikir yang terdapat dalam Islam.
Al-qur’an senantiasa menganjurkan pemakaian akal terhadap ayat atau tanda yang terdapat dalam alam seperti matahari, bulan, pertukaran siang menjadi malam dan sebagainya. Orang yang tidak peduli dan tidak memperhatikan tanda-tanda itu akan tinggal buta terhadap masa yang akan datang. Yang pada akhirnya hanya melahirkan manusia-manusia yang memahami Al-qur’an sebatas hukum dalam syari’ah saja, tanpa menghiraukan kemu’jizatan-kemu’jizatan lain dalam Al-qur’an, seperti i’jazul ilmi.
Konsep Islam mengenai alam adalah senantiasa berkembang. Islam menolak konsep lama yang mengatakan bahwa alam ini bersifat statis. Islam mempertahankan konsep dinamisme dan mengakui adanya gerak dan perubahan dalam hidup sosial manusia. Kemajuan serta kemunduran di buat tuhan silih berganti diantara bangsa-bangsa yang mendiami bumi ini, menurut Iqbal mengandung arti dinamisme. Dan prinsip yang dipakai dalam soal gerak dan perubahan itu adalah ijtihad. Ijtihad mempunyai kedudukan penting dalam pembaharuan dalam Islam.
Paham dinamisme Islam yang ditonjolkan inilah yang membuat Iqbal mempunyai kedudukan penting dalam pembaharuan di India. Dalam syair-syairnya ia mendorong umat Islam supaya bergerak dan jangan tinggal diam. Intisari hidup adalah bergerak, sedang hukum hidup ialah menciptakan, maka Iqbal berseru kepada umat Islam supaya bangun dan menciptakan dunia baru. Karena tingginya ia menghargai gerak, hingga ia menyebut bahwa kafir yang aktif lebih baik dari muslim yang suka tidur.[4]
Dalam pembaharuannya Iqbal tidak berpendapat bahwa Baratlah yang harus dijadikan model. Kapitalisne dan imperialism barat tidak dapat diterimanya. Barat menurut penilaiannya, amat banyak di pengaruhi oleh materialisme dan telah mulai meniggalkan agama. Yang harus diambil umat Islam dari barat hanyalah ilmu pengetahuannya. Ia tidak suka dengan hal yang berbau materialistis, seperti telah disinggung, bahwa Muhammad Iqbal adalah adalah seorang nasionalis India. Tapi, kemudian ia ubah pandangannya. Nasionalisme ia tentang, karena dalam nasionalisme seperti yang ia jumpai di Eropa, ia melihat bibit materialism dan atheisme dan menurutnya, keduanya merupakan ancaman besar bagi peri kemanusiaan.
Kalau kapitalisme ia tolak, sosialisme barat ia terima. Ia bersikap simpatik terhadap gerakan sosialisme ia melihat ada persamaan. Dalam hubungan ini ia pernah mengatakan “karena Bolsyevisme Tambah tuhan hampir identik dengan Islam, maka saya tidak terperanjat kalau suatu ketika Islam menelan Rusia atau sebaliknya”. Iqbal tidak begitu saja mau menerima apa yang datang dari barat. [5]

4.        Reformasi Pemikiran Keagamaan
Reformasi pemikiran keagamaan dalam Islam, menurut Iqbal di dasarkan kepada adanya tuntutan untuk mengubah posisi yang dicapai umat Islam kini, posisi yang lemah dan takut serta lari dari kehidupan nyata. Ia berdasarkan pada prinsip perjuangan melawan kekhawatiran menghadapi kehidupan dan ketidakmampuan menguasai alam dan materi. Ia berjuang melawan “wihdatul wujud” yang mengajak manusia untuk melebur diri dalam realitas mutlak (Tuhan) dan fatalisme dalam hidup. Reformasi keagamaan berarti pengokohan atas “aku” dan kepribadian manusia, agar tidak lebur dan tidak juga dikuasai. Ia menuntut adanya “personalitas” itu, serta menuntut sikap “realistik” dalam arti tidak lari dari kehidupan. Realisme yang dituntut itu bukanlah “arti Tuhan” yang materialistic-positivis, tapi artinya menjauhkan diri dari “Brahmaisme, Sufisme Isyraqisme atau Sufisme Persia”.[6]
Ide reformasi yang digoncarkan Iqbal sebenarnya di dasarkan atas dua elemen yang sangat prinsipil, yaitu:
1.    Perubahan pemahaman terhadap alam atau kenyataan. Yaitu usaha mengembalikan pemahaman itu kepada pemahaman umat Islam terdahulu, bahwa dunia ini lapangan usaha, gerak, dan pengetahuan manusia. Jadi, ia bukanlah suatu yang harus ditakuti atau dianggap buruk.
2.    Pengungkapan beberapa prinsip-prinsip Islam yang semuanya merupakan faktor-faktor yang mendorong manusia bergerak dan berusaha di alam nyata ini.
            Jadi Iqbal dengan gerakan reformasi pemikiran keagamaan dalam Islam itu, menginginkan kembalinya kejayaan bagi umat Islam. Kejayaan bukan lantaran mengikuti salah satu filsafat barat, tapi karena pemahaman yang benar tentang Islam seperti pemahaman orang-orang muslim pertama.
            Pemahaman yang benar tentang Islam, menurut Iqbal menjadikan alam materi dan alam nyata bukan suatu yang keji tapi sebagai lapangan perjuangan demi personalitas. Dengan alam yang realis itu maka kepribadian menjadi kuat, dengan perjuangan dalam dunia ini ia akan tetap eksis dan abadi. Jadi, keabadian personalitas menurut Iqbal adalah melalui perjuangan, dengan menundukkan segala rintangan bukan lari dari padanya. [7]
            Selain itu, menjadikan wujud ini sebagai satu kesatuan. Keadaan kesatuan itu sebagai satu mata rantai yakni Allah, manusia, dan alam. Wujud ini satu hakikat, yang memiliki asal dan gejala. Tapi, ia tidak bersatu, satu kesatuan dalam wujud ini tidak dapat dilebur dalam kesatuan lainnya. Jadi pandangan Islam terhadap wujud ini yakni mengajak manusia untuk mengadakan hubungan antara dua hakikat. Hakikat zat universal (Allah) dan hakikat dunia luar yang dianggap penampakan hakikat pertama. Hal itu adalah dengan menggunakan metode empiris, bahwa realitas internal dalam diri manusia, realitas (hakikat yang dicapai seorang sufi melalui latihan spiritual), membantu pengungkapan hakikat luar.
            Iqbal adalah seorang sufi yang cenderung kepada “wihdat al wujud”. Ia mengutamakan latihan-latihan sufistik sebagai jalan untuk membersihkan diri dan sebagai jalan untuk mencapai dan mendekatkan diri kepada zat yang maha tinggi. Melihat kelemahan pada umat Islam sebagai individu dan jama’ah, ia melihat adanya kebekuan pemahaman umat Islam terhadap agamanya, ia melihat kelesuan umat Islam khususnya di India dalam menghadapi kehidupan nyata.
            Iqbal memotivasi manusia yang pasif dan lemah untuk berusaha dalam kehidupan dengan kekuatannya. Jadi, yang menjadi motivasi adalah kekuatan personalnya, kekuatan individual yang terdapat pada dirinya, kekuatan konstruktif dan kreatif. Ketika itu Iqbal tampak sebagai pembela individualisme karena terpengaruh oleh Hegel dengan pemikirannya yang didasarkan atas “aku”, Nietzsche dengan idenya yang mengagung-agungkan kekuatan individual, serta Fichte yang menyatakan bahwa masyarakat tergantung kepada kekuatan dan usaha individu.                       
            Sesungguhnya individualisme dihargai dan diberi kemerdekaan dalam Islam. Jadi keluarga, masyarakat, dan Negara menurut pandangan agama Islam tidak bisa menggencet individualisme dan kemerdekaannya. Dengan konsep wihdat al wujud, Muhammad Iqbal ingin memadukan antara spiritualisme dengan realitas, antara agama dan Negara. Jadi pemisahan antara Allah dan alam fisik menurut Iqbal pada hakikatnya adalah pemisahan antara agama dan Negara. Pemisahan seperti itu tidak diajarkan dalam Islam, sebab kebenaran dalam Islam hanyalah satu. Nasabnya adalah Allah dan spiritualisme, sedangkan gejalanya adalah alam dan benda nyata.[8]

5.        Faktor Munculnya Pemikiran Reformasi Iqbal.[9]
Pada dasarnya, seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, ada satu hal yang menjadi faktor pendorong Iqbal mengemukakan pemikiran reformasinya, yakni kemunduran umat Islam dalam peranannya menguasai alam nyata, kelemahan mereka di bidang materi dan ekonomi, serta kelemahan spiritual mereka. Terdapat salah pengertian umat Islam terhadap agama Islam yang timbul karena mereka mencampur-adukkan dengan ajaran lain dan kejumudan mereka memahami makna Islam sebenarnya. Menurut mereka alam ini harus di hindari, dan materi adalah hal yang harus di jauhi. Menurut Iqbal, aliran Sukisme Iran yang menjauhkan umat Islam dari kehidupan materi.
   Faktor-faktor lainnya yaitu:
a.         Kondisi umat Islam
   Iqbal menerangkan tentang kondisi umat Islam pada masanya, yang terombang-ambing antara kehidupan kolot yang gelap dan kehidupan baru yang cemerlang, seperti di barat.
b.         Bangsa Eropa
     Namun, di lain pihak, Iqbal tidak rela jika umat Islam yang harus mengubah posisinya untuk bercermin kepada Bangsa Eropa seperti yang diharapkan  diharapkan penulis buku Mustaqbal As-Staqafah Fi Misr, yang mengharapkan umat Islam meniru Bangsa Eropa dalam tindakan dan pemikirannya.[10]

Pemikiran Filsafat Iqbal Tentang Keindahan
                        Dalam pemikiran filsafat Iqbal, pusat dan landasan organisasi kehidupan manusia adalah ego yang dimaknai sebagai seluruh cakupan pemikiran dan kesadaran tentang kehidupan. Ia senantiasa bergerak dinamis untuk menuju kesempurnaan dengan cara mendekatkan diri pada ego mutlak, Tuhan. Karena itu, kehidupan manusia dalam ke-egoannya adalah perjuangan terus menerus menaklukkan rintangan dan halangan demi tercapainya ego tertinggi. Dalam hal ini, karena rintangan terbesar adalah benda atau alam, manusia harus menumbuhkan instrument-instrumen tertentu dalam dirinya, misalnya daya indera, daya nalar, dan lainnya yang membantu menyesuaiakan penghalang-penghalangnya. Keindahan tidak lain adalah bentuk dari ekspresi kehendak, hasrat, dan cinta ego dalam mencapai ego mutlak tersebut.
 
Pemikiran Filsafat Iqbal Tentang seni.[11]
Dalam pemikiran filsafat, gagasan seni Iqbal disebut sebagai estetika vitalisme, yakni bahwa seni dan keindahan merupakan ekspresi ego dalam kerangka prinsip-prinsip universal dari suatu dorongan hidup yang berdenyut di balik kehidupan sehingga harus juga memberikan kehidupan baru atau memberikan semangat hidup bagi lingkungannya, atau bahkan mampu memberikan “hal baru” bagi kehidupan. Dengan menawan sifat-sifat Tuhan dalam penyempurnaan kualitas dirinya, manusia harus mampu menjadi “saingan” Tuhan. Di sinilah hakekat pribadi yang hidup dalam diri manusia dan menjadi kebanggaannya dihadapan Tuhan.
Bagi Iqbal, manusia adalah pencipta bukan peniru, dan pemburu bukan mangsa, sehingga hasil karya seninya harus menciptakan ‘apa yang seharusnya’ dan ‘apa yang belum ada’, bukan sekedar menggambarkan ‘apa yang ada’. Dalam salah satu puisinya, Iqbal mengecam dan menyebut sebagai kematian terhadap seni Timur yang meniru seni Barat.
Konsep-konsep seni dan keindahan Iqbal tersebut hampir sama dengan teori seni Benedetto Croce (1866-1952 M), seorang pemikir Italia yang sezaman dengan Iqbal. Menurutnya, seni adalah kegiatan kreatif yang tidak mempunyai tujuan dan juga tidak mengejar tujuan tertentu kecuali keindahan itu sendiri, sehingga tidak berlaku kriteria kegunaan, etika dan logika. Kegiatan seni hanya merupakan penumpahan perasaan-perasaan seniman, visi atau intuisinya, dalam bentuk citra tertentu, baik dalam bentuk maupun kandungan isinya. Jika hasil karya seni ini kemudian diapresiasi oleh penanggap, hal itu disebabkan karya seni tersebut membangkitkan intuisi yang sama pada dirinya sebagaimana yang dimiliki oleh sang seniman. Dengan pernyataan seperti ini, teori Croce berarti terdiri atas empat hal, yaitu:[12]
1)        bahwa seni adalah kegiatan yang sepenuhnya mandiri dan bebas dari segala macam pertimbangan etis
2)        bahwa kegiatan seni berbeda dengan kegiatan intelek. Seni lebih merupakan ekspresi diri atas pengalaman individu (intuitif) dan menghasilkan pengetahuan langsung dalam bentuk individualitas kongkrit, sedang intelek lebih merupakan kegiatan analitis dan menghasilkan pengetahuan reflektif.
3)        bahwa kegiatan seni ditentukan oleh perkembangan kepribadian seniman
4)        bahwa apresiasi adalah penghidupan kembali pengalaman-pengalaman seniman didalam diri penanggap.
Pandangan seni Iqbal tidak berbeda dengan teori Croce tersebut, kecuali pada bagian pertama. Iqbal menolak keras kebebasan seni dan keterlepasaannya dari etika. Iqbal justru menempatkan seni dibawah kendali moral, sehingga tidak ada yang bisa disebut seni betatapun ekspresifnya kepribadian sang seniman kecuali jika mampu menimbulkan nilai-nilai yang cemerlang, menciptakan harapan-harapan baru, kerinduan dan aspirasi baru bagi peningkatan kualitas hidup manusia dan masyarakat. Dengan demikian, gagasan seni Iqbal tidak hanya ekspresional tetapi sekaligus juga fungsional.
            Pada masa Iqbal, setidaknya ada dua gerakan yang berkaitan dengan seni
1.    Gerakan anti fungsionalisme, yakni gerakan yang menyatakan bahwa seni tidak mempunyai tujuan dan tidak mengejar tujuan diluar dirinya, karena ia adalah tujuan itu sendiri. Slogannya yang terkenal adalah seni untuk seni (part pour part). Maksudnya, kualitas yang khusus dari seni adalah keindahan, dan ia sekaligus merupakan nilai dasarnya yang absolute, menyeluruh, dan tertinggi, mengalahkan nilai-nilai lainnya, harta kebenaran dan kebaikan.
2.    Gerakan yang dipelopori oleh psikolog Johan Fredrich Herbart yang kemudian dilanjutkan oleh Hanslick Fielder, Clive Bell dan Roger Fry. Gerakan ini membedakan antara kandungan dan bentuk seni. Menurutnya, kandungan seni tidak mempunyai nilai estetik, tetapi hanya sekedar alat untuk menimbulkan efek artistik. Apa yang disampaikan lewat seni, baik atau buruk, benar atau salah, sesuai dengan hokum atau tidak, tidak menjadi masalah dan tidak berpengaruh pada nilai seni; yang penting adalah bagaimana penyampaiannya, pada bentuknya.
            Iqbal menolak kedua model gerakan tersebut. Baginya, seni tanpa kandungan emosi, kemauan dan gagasan-gagasan tidak lebih dari apai yang telah padam. Sesuia dengan konsepnya tentang kepribadian, kemauan adalah sumber utama dalam pandangan seni Iqbal, sehingga seluruh isi seni-sensasi, perasaan, sentiment, ide-ide dan ideal-ideal harus muncul dari sumber ini. Karena itu, seni tidak sekedar gagasan intelektual atau bentuk-bentuk estetika melainkan pemikiran yang dibumbui emosi dan mampu menggetarkan manusia.

6.        Gagasan dan Pemikiran Muhammad Iqbal.[13]
Methafisika
Dalam pemikiran filsafat, Iqbal mengumandangkan misi kekuatan dan kekuasaan Tuhan, selain itu beliau juga menyatakan bahwasanya pusat dan landasan organisasi kehidupan manusia adalah ego yang dimaknai sebagai seluruh cakupan pemikiran dan kesadaran tentang kehidupan. Ia senantiasa bergerak dinamis untuk menuju kesempurnaan dengan cara mendekatkan diri pada ego mutlak, Tuhan. Karena itu, kehidupan manusia dalam keegoanya adalah perjuangan terus menerus untuk menaklukkan rintangan dan halangan demi tergapainya Ego Tertinggi. Dalam hal ini, karena rintangan yang terbesar adalah benda atau alam, maka manusia harus menumbuhkan instrumen-instrumen tertentu dalam dirinya, seperti daya indera, daya nalar dan daya-daya lainnya agar dapat mengatasi penghalang-penghalang tersebut. Selain itu, manusia juga harus terus menerus menciptakan hasrat dan cita-cita dalam kilatan cinta (`isyq), keberanian dan kreativitas yang merupakan essensi dari keteguhan pribadi. Seni dan keindahan tidak lain adalah bentuk dari ekspresi kehendak, hasrat dan cinta ego dalam mencapai Ego Tertinggi tersebut.
Kendati mengumandangkan misi kekuatan dan kekuasaan Tuhan, namun Iqbal tidak menjadikannya membunuh ego kreasi yang bersemayam di kedalaman diri. Ia selalu membuka katup cakrawala pemikirannya atas dunia di luar Islam (terutama Barat).
 Estetika
Berdasarkan konsep kepribadian yang memandang kehidupan manusia yang berpusat pada ego inilah, Iqbal memandang kemauan adalah sumber utama dalam seni, sehingga seluruh isi seni-sensasi, perasaan, sentimen, ide-ide dan ideal-ideal- harus muncul dari sumber ini. Karena itu, seni tidak sekedar gagasan intelektual atau bentuk-bentuk estetika melainkan pemikiran yang lahir berdasarkan dan penuh kandungan emosi sehingga mampu menggetarkan manusia (penanggap). Seni yang tidak demikian tidak lebih dari api yang telah padam. Karena itu, Iqbal memberi kriteria tertentu pada karya seni ini. Pertama, seni harus merupakan karya kreatif sang seniman, sehingga karya seni merupakan buatan manusia dalam citra ciptaan Tuhan. Ini sesuai dengan pandangan Iqbal tentang hidup dan kehidupan. Menurutnya, hakekat hidup adalah kreativitas karena dengan sifat-sifat itulah Tuhan sebagai sang Maha Hidup mencipta dan menggeraksan semesta. Selain itu, hidup manusia pada dasarnya tidaklah terpaksa melainkan sukarela, sehingga harus ada kreativitas untuk menjadikannya bermakna. Karena itu, dalam pandangan Iqbal, dunia bukan sesuatu yang hanya perlu dilihat atau dikenal lewat konsep-konsep tetapi sesuatu yang harus dibentuk dan dibentuk lagi lewat tindakan-tindakan nyata.
Etika
Dalam filsafat tentang etika Iqbal menghimbau masyarakat timur (umat Islam), untuk kembali kepada ajaran Islam yang agung serta menjauhi peradaban Barat (Eropa) yang merusak. Iqbal memandang bahwasanya sebab kemunduran umat Islam adalah kecendrungan yang membabibuta terhadap kebudayaan Barat yang telah membunuh karakter mereka dengan terus mengadopsi budaya-budaya Barat tanpa proses filterisasi.
Iqbal mengungkapkan pandangannya terhadap budaya Barat.

7.        Pandangan Kreatif Muhammad Iqbal Tentang Pendidikan.[14]
Dari apa yang telah dibahas di atas, jelas bahwa seorang muslim haruslah menerjemahkan konsepsi tentang tata kehidupan sosial yang progresi dan manusiawi tersebut kedalam berbagai gaya yang selaras dengan waktu dan tempat yang nyata. Hal ini akan dapat menghindari berbagai perusakan dan destruksi, konflik dan ketidakadilan yang melanda umat manusia dan dapat di pandang sebagai salah satu ciri khas abad modern dewasa ini.
Pertama-tama Muhammad Iqbal mengundang kaum muslim untuk mengambil kendali dan bertindak sebagai pimpinan menata kembali kehidupan social ini, karena, menurut pandangan Iqbal, berkat tradisi religius dan filosofisnya, mereka akan dapat menghargai dan menyetujui ide-ide dan nilai-nilai yang bertautan dengannya. Iqbal sama sekali tidak menghendaki kalau-kalau kaum muslim menyembunyikan nilai-nilai tersebut. Nilai-nilai itu berlaku secara universal. Sebab ciri universal ini merupakan ciri hakiki dari semua ide kreatif yang di sumbangkan Islam untuk memperbaiki kehidupan ini.
Dalam menggali dan mengkomunikasikan nilai-nilai inilah di dapatkan peranan yang harus di mainkan oleh pendidikan, akan tetapi pendidikan tersebut hendaknya merupakan suatu pendidikan yang dapat dijiwai semangat sebagai sumber inspirasi bagi tata kehidupan sosial dan kebudayaan. [15]
Menurut Iqbal, pendidikan itu harus dinamis dan kreatif dan di arahkan untuk memupuk dan memberikan kesempatan gerak pada semangat kreatif yang bersemayam dalam diri manusia serta mempersenjatainya dengan kemauan dan kemampuan unutuk menguasai bidang seni dan bidang ilmu yang baru. Jadi, pendidikan di maksudkan hendaknya merupakan pendidikan yang di ilhami oleh suatu keyakinan yang optimis tentang tujuan akhir manusia.
Ilmu pengetahuan mengambil tempat yang penting dalam hal ini. Dengan demikian manusia tidak hanya mampu menguasai alam, akan tetapi mampu juga mengawasi dan mengendalikan metode-metode ilmiah yang merupakan alat baginya untuk menjelajah dan menata kembali dunianya. Pendidikan tersebut kiranya tidak akan memberikan tempat kepada sikap ilmiah yang semu.
Dalam pada itu pendidikan tersebut hendaknya tidak pula menciptakan suatu antitesis yang rancu antara system nilai yang diwakili ilmu pengetahuan dengan system nilai yang diwakili agama. Sehubungan dengan ini pendirian Iqbal sangat jelas dan tandas. Pada satu fihak ia mengakui adanya bobot dan makna yang praktis dan intelektual dari ilmu pengetahuan, dalam zaman modern ini, dan sebagai konsekuensinya di akuinya pula bobot dan maknanya bagi pendidikan. Akan tetapi di lain fihak Iqbal menyadari benar, bahwa ilmu pengetahuan itu hanyalah mampu menangkap tanggapan sesaat dari kenyataan dan oleh karena itu, ia hanya mewakili salah satu metode saja tidak akan mampu memberikan gambaran yang menyeluruh dan memuaskan kita mengenai dunia kenyataan atau realita.
Sebaliknya agama mengharapkan pemahaman mengenai kenyataan itu secara menyeluruh. Oleh karena itu agama dalam mengolah dan memadukan segala data dari pengalaman insani, agama hendaknya menduduki posisi yang pokok. Agama bukan untuk dipertentangkan dengan ilmu pengetahuan, melainkan agama itu hendaknya di pandang sebagai pelengkap yang mengimbangi pandangan yang didapatkan melalui ilmu pengetahuan.




























BAB III
PENUTUP
3.1  Kesimpulan
     Pemikiran tentang kemunduran umat Islam merupakan titik awal dari pemikiran Muhammad Iqbal tentang sebuah rekonstruksi baru dalam Islam, tentang sebuah wacana yang mungkin bagi sebagian orang Islam bukanlah merupakan sesuatu yang amat baru. Iqbal mencoba untuk memperkenalkan sebuah cara pandang berbeda tentang sikap yang menurutnya seharusnya dimiliki oleh umat Islam, yaitu pandangan tentang dinamisme kehidupan yang bersumber dari Al-qur’an, Artinya, pandangan bahwa hidup itu gerak, begitu juga dengan hukum Islam selalu bergerak selaras dengan perkembangan zaman. Ia berpendapat bahwa pintu ijtihad tidak tertutup sebagaimana yang dikatakan oleh orang-orang konservatif yang terlalu paranoid terhadap integritas Islam. Ia sangat memahami kompleksitas Al-qur’an. Ia sangat menghargai gerak, karena besarnya penghargaanya terhadap gerak, hingga ia menyebut orang kafir yang bergerak lebih baik dari pada muslim yang hanya tidur tidak melakukan apa-apa.
Demikian juga pandangannya tentang pendidikan, Muhammad Iqbal mengundang kaum muslim untuk mengambil kendali dan bertindak sebagai pimpinan menata kembali kehidupan sosial ini, karena, menurut pandangan Iqbal, berkat tradisi religius dan filosofisnya, mereka akan dapat menghargai dan menyetujui ide-ide dan nilai-nilai yang bertautan dengannya. Iqbal sama sekali tidak menghendaki kalau-kalau kaum muslim menyembunyikan nilai-nilai tersebut. Nilai-nilai itu berlaku secara universal. Sebab ciri universal ini merupakan ciri hakiki dari semua ide kreatif yang di sumbangkan Islam untuk memperbaiki kehidupan ini.











DAFTAR PUSTAKA

Al-bahiy, Muhammad, 1986, Pemikiran Islam Modern, Jakarta: Pustaka Panjimas.
Dono Hue, John, 1984, Islam Dan Pembaharuan Ensiklopedi Masalah-Masalah: Jakarta, CV Raja Wali.
Saiyidain, K.G, 1986, Percikan Filsafat Iqbal Mengenai Pendidikan, Bandung: CV. Diponegoro.
Nasution, Harun, 2003, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang.
Soleh, Khudori, 2004, Wacana Baru Filsafat Islam, Yogyakrata: Pustaka Pelajar
Supriyadi, Dedi, 2009, Pengantar Filsafat Islam (Konsep, Filsuf dan Ajarannya), Bandung: CV. Pustaka Setia.
Smith, W.C, 1963,  Modernis in India, Lahore : Ashraf.


[1] Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, Konsep, Filsuf dan Ajarannya, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2009), hal 261
[2] Ibid, hal.264
[3] Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam,(Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2004) hal. 231
[4]  W.C Smith, Modernis in India (Lahore : Ashraf, 1963) Hal. 111
 [5] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, sejarah pemikiran dan gerakan , (Jakarta:Bulan Bintang,2003) hal.186
[6]  Muhammad Al-Bahiy, Pemikiran Islam Modern, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1986), hal. 263

[7] Ibid.,  264
[8] Ibid., 266
[9] John Donohue, Islam Dan Pembaharuan Ensiklopedi Masalah-Masalah, (Jakarta: CV. Raja Wali, 1984)., hal 152
[10]  Ibid., 154
[11]  Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam,(Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2004), hal 233

[12]  Ibid., 236
[13]  Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, (Bandung:CV. Pustaka Setia, 2009) hal 268.

[14]  K.G Saiyidain, Percikan Filsafat Iqbal Mengenai Pendidikan, (Bandung:C.V. Diponegoro, 1986)Hal. 19

[15] Ibid., 20

Tidak ada komentar:

Posting Komentar