Sabtu, 15 Maret 2014

SPI (Jami’at Khair dan Muhammadiyah, PERSIS, NU, Al-Irsyad)




I.                  PENDAHULUAN
Di Indonesia terdapat banyak perkumpulan-perkumpulan atau organisasi-organisasi Islam yang berkembang. Dalam makalah ini, perkumpulan atau organisasi Islam yang kami angkat yaitu Jami’at Khair dan Muhammadiyah, PERSIS, NU, Al-Irsyad, serta tokoh-tokohnya dan bagaimana peranannya terhadap pendidikan Islam pada masa itu. Setelah saya membaca menurut saya bahwa di indonesia ini banyak sekali organisasi-organisasi, termasuk munculnya organisasi-organisasi Islam di Indonesia lebih banyak dikarenakan mulai tumbuhnya sikap patriotisme dan nasionalisme. Dari organisasi Islam ini ditumbuhkan dan dikembangkan sikap dan rasa nasionalisme dikalangan rakyat melalui pendidikan.
Kebangkitan Islam telah menjadi wacana bersama sejak kita memasuki abad ke-15 H. Sebelumnya, umat Islam memang mengalami stagnasi yang cukup lama terutama dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Belakangan ini, umat Islam di berbagai kawasan sudah mulai melakukan identifikasi terhadap potensi yang dimilikikinya. Berbagai inovasi, kreatifitas, spekulasi dan eksperimen ilmiah mulai dilakukan. Kendati mengalami banyak kendala, peradaban muslim sudah mulai diukir sebagai sumbangsihnya pada dunia. Menurut saya bahwa di indonesia ini masih dalam proses menuju yang lebih baik dalam hal melakukan pembaharuan mulai dari pendidikan. Menurut Al-Irsyad bergerak bukan hanya dalam bidang pendidikan, tapi juga bidang-bidang lain seperti rumah sakit, panti asuhan dan rumah yatim piatu. Haji dan menurut Abdul Halim yang bergerak di bidang ekonomi dan  pendidikan. Di bidang ekonomi, organisasi ini bermaksud membantu anggota-anggotanya yang bergerak dibidang perdagangan dalam persaingan dengan pedagang-pedagang Cina. Jadi dari sekian banyak organisasi Islam itu menpunyai tujuan untuk memulai memesuki pembaharuan.




II.               PEMBAHASAN

A. Jami’at Khair
Organisasi ini diberi nama Jami’at Khair. Didirikan oleh Ali dan Idrus dari keluarga shahab. Organisasi ini tidak bergerak di bidang politik tetapi menitik beratkan pada semangat pembaruan melalui lembaga pendidikan modern. Meski membangun basis perjuangan melalui pendidikan, Jami’at Khair tidaklah berbentuk sekolah agama melainkan sekolah dasar biasa dengan kurikulum modern. Para siswa tidak melulu diajarkan materi agama tetapi juga materi umum seperti berhitung, sejarah atau ilmu bumi.[1] Jami’at Khair yang didirikan pada tahun 1901 di Jakarta, dengan proses yang berliku-liku baru mendapat pengesahan tanggal 17 Juli 1905. Perhatian Jami’at Khair ditujukan pada pendidikan. Hal-hal yang menjadi perhatian utama organisasi ini yaitu:
a.       Pendirian dan pembinaan satu sekolah pada tingkat dasar.
b.      Pengiriman anak- anak ke Turki untuk melanjutkan studinya.

Bidang kurikulum sekolah dan jenjang kelas-kelas umpamanya, sudah diatur dan disusun secara terorganisasi, sementara itu bahasa Indonesia dan bahasa Melayu dipergunakan sebagai bahasa pengantar. Adapun bahasa Belanda tidak diajarkan dan sebagai gantinya bahasa Inggris yang dijadikan pelajaran wajib. Dengan demikian, terhimpunlah anak-anak dari keturunan Arab, ataupun anak-anak Islam dari Indonesia sendiri.Tercatat ada beberapa orang guru yang didatangkan dari luar negeri seperti: Al-Hasyimi dari Tunis, Syekh Ahmad Surkati dari Sudan, Syekh Muhammad Thaib dari Maroko, dan Syekh Muhammad Abdul Hamid dari Mekkah. Hal penting yang dapat dicatat bahwa Jami’at Khair merpakan organisasi modern pertama dalam masyarakat Islam di Indonesia, yang memiliki AD/ART, daftar anggota yang tercatat, rapat-rapat secara berkala, dan yang mendirikan lembaga pendidikan yang memakai system yang boleh dikatakan cukup modern, diantaranya memiliki kurikulum, buku pelajaran yang bergambar, kelas-kelas, pemakaian bangku, papan tulis, dan sebagainya.
Jami’at Khair telah menunjukkan perlawanan kepada pemerintah melalui artikel-artikel para anggotanya pada harian di luar negeri khususnya negara-negara Arab. Kedatangan utusan Turki menunjukkan bahwa Jami’at Khair sebagai perkumpulan yang didirikan oleh keturunan Arab memang menjalin hubungan dengan kekhalifahan Turki. Hal ini menunjukkan pula bahaya Pan Islamisme dari Jami’at Khair di mata pemerintah. Perkumpulan Jami’at Khair ini dianggap berbahaya oleh pemerintah kolonial Belanda, karena pengaruhnya dapat membangkitkan semangat Islam, semangat jihad fisabilillah di kalangan kaum muslimin Indonesia. Pemerintah Hindia Belanda kemudian melakukan penekanan-penekanan terhadap anggota Jami’at Khair. Pada tahun 1917 dilakukan penangkapan dan interogasi terhadap tokoh Jami’at Khair dan beberapa diantaranya kemudian dipenjarakan
Pada akhirnya di tahun 1918 pemerintah memutuskan bahwa Jami’at Khair sebagai organisasi yang didirikan oleh warga Timur Asing dilarang terlibat dalam kegiatan organisasi warga Indonesia. Dan ditekankan bahwa izin berdiri Jami’at Khair dapat dicabut sewaktu-waktu. Menyadari kecurigaan pemerintahan terhadap perkumpulan dan penekanan-penekanannya, Jami’at Khair kemudian mengambil strategi untuk kembali dalam Anggaran Dasarnya, khususnya dalam masalah pendidikan[2]. Karena Jami’at Khair sebagai perkumpulan sosial telah dicurigai pemerintah akibat kegiatan politiknya, maka pada tanggal 17 Oktober 1919 dilakukan perubahan bentuk perkumpulan menjadi yayasan pendidikan.
Pada tanggal tersebut Jami’at Khair berubah menjadi Yayasan Pendidikan Jami’at Khair berdasarkan Anggaran Dasar Yayasan School Djameat Geir, tertanggal 17 Oktober 1919 yang dimuat dalam akta nomor 143 notaris Jan Willem Roeloffs Valk di Jakarta. Sejak saat itu kegiatan Jami’at Khair dilakukan melalui wadah Yayasan Pendidikan Jami’at Khair. Dengan demikian, Jami’at Khair bisa dikatakan sebagai pelopor pendidikan Islam modern di Indonesia.Dalam Jami’at Khair inlah dididik dan digembleng tokoh ulama KH Ahmad dahlan.

B. Al-Irsyad
Organisasi ini berdiri tanggal 6 September 1914 di Jakarta, dua tahun setelah Muhammadiyah berdiri, Diantara tokoh al-Irsyad yang terkenal adalah syeikh Ahmad Surkati, berasal dari Sudan yang semula adalah pengajar di Jami’atul Khair. Al Irsyad ini mengkhususkan diri dalam perbaikan (pembaharuan) agama kaum muslimin khususnya keturunan Arab Sebagian tokoh Muhammadiyah pada awal berdirinya juga adalah kader-kader yang dibina dalam lembaga pendidikan AlIrsyad. Saat itu al-Irsyad sudah memiliki Madrasah Awaliyah (3 tahun), Madrasah Ibtidaiyah (4 tahun), Madrasah Tajhiziyah (2tahun), dan Madrasah Mu’allimin yang dikhususkan untuk mencetak guru. Al-Irsyad bergerak bukan hanya dalam bidang pendidikan, tapi juga bidang-bidang lain seperti rumah sakit, panti asuhan dan rumah yatim piatu.

C. Persyerikatan Ulama
Perserikatan ulama merupakan perwujudan dari gerakan pembaruan didaerah majalengka, jawa barat yang dimulai pada tahun 1911 atas inisiatif kyai haji abdul halim, lahir pada tahun 1887 diciberelang majalengka. Kyai halioleh pelajaran agama pada masa kanak-kanak umur 22 tahun diberbagaia pesantrn dan kemudian pergi ke mekkah untuk mennaikan ibadah haji. Dan selama tiga tahun ia berada dimekah ia mengenal tulisan-tulisan abduh dan jamal al-din afgani dan ia meninggal pada tahun1962 dan tetap berpegang pada mahzab safi’i.Enam bulan berada dimekkah KHA halim mendirikan sebuah organisasi yang diberinama Qulub yang bergerak dibidang ekonomi dan pendidikan, anggotanya 60 orang umunya terdiri dari pedagag dan petani. Organisasi ini juga bermaksud membantu anggota-anggotanya yang bergerak dibidang perdagangan dan persaingan dengan pedagang-pedagang cina.Dalam bidang pendidikan KHA halim mengadakan pelajaran agma seminggu sekali.
Hayatul qulub tidak berlangsung lama. Persaingan dengan pedagang cina yang kadang-kadang menyebabkan perkelahian dan dianggap pemerintah sebagai kerusuhan.  Tahun 1915 organisasi tersebut dilarang, tapi kegiatannya teru lanjut walau tidak diberi nama resmi, sedangkan kegiatan pendidikan dilanjutkan oleh organisasi baru yang disebut dengan majlisul ilmi. Pada tahun 1916mdirasakan oleh kalangan masyarakaat, terutama para tokohnya untuk mendirikan suatu lembaga pendidikan yang besifat modern. Sekolah dengan jami’yat i’anat al muata’alimin drikan dengan mendapat sambutan yang baik dari guru. organisasi tersebut yang kemudian diganti dengan persyerikatan ulama yang diakui secara sah oleh hukum pemerintah pada tahun1917 dengan bantuan H.O.S cokroaminoto pemimpin serikat islam ia disebut jyga persyerikatan umat islam yang pada tahun1952 difuksikan dengan organisasi islam lainya al ijtihadiyatul islamiyah menjadi persatuan umat islam.[3]
Pada tahun 1924 persyerikatan ulama secara resmi meluaskan daerah operasinya keseleruruh jawa da madura, dan pada tahun 1937 keseluruh indonesia. Persyerikatan ulama ini tetap  merupakan organissi dari majelengka. Organisasi ini juga membuka sebuah rumah anak yatim yang diselenggarakan oleh Fatimiyah bagian wanita dari organisasi terseut, yang diambil dari anak nabi Muhamad SAW yang didirikan pada tahun 1930. Pada tahun 1932 dalam suatu kongres persyerikatan ulama dimajalengka KHA halim mengusulkan agar sebuah lembaga didirikan yang akan melengkapi pelajar-pelajarnya bukan saja dengan berbagai cabang ilmu pengetahuan agama dan ilmu umum. Pendiri persyerikatn ulama ini juga mengusulkan agar latihan tersebut perlu juga menitikberatkan pada pembentukan watak dan kingres menerima usul KHA halim. Suatu keluarga kaya dari ciomas memberikan setumpuk tanahnya dipasir ayu 10 m dari majaleng.
Lembaga ini dinamakan santi asrama yang dibagi 3 bagian yaitu:
a)      Tingkat permulaan
b)      Dasar
c)      lanjutan
persyerikatan ulama sejak mulai berdiri, menyelenggarakan juga tabligh dan mulai sekitar tahun 1930 menerbitkan majalah dan brosur sebagai media penyebar cita-citanya.
D. Persatuan Islam
Tampilnya jam'iyyah Persatuan Islam (Persis) dalam pentas sejarah di Indonesia pada awal abad ke-20 telah memberikan corak dan warna baru dalam gerakan pembaruan Islam. Persis lahir sebagai jawaban atas tantangan dari kondisi umat Islam yang tenggelam dalam kejumudan (kemandegan berfikir), terperosok ke dalam kehidupan mistisisme yang berlebihan, tumbuh suburnya khurafat, bid'ah, takhayul, syirik, musyrik, rusaknya moral, dan lebih dari itu, umat Islam terbelenggu oleh penjajahan kolonial Belanda yang berusaha memadamkan cahaya Islam. Situasi demikian kemudian mengilhami munculnya gerakan "reformasi" Islam, yang pada gilirannya, melalui kontak-kontak intelektual, mempengaruhi masyarakat Islam Indonesia untuk melakukan pembaharuan Islam.
Persatuan Islam (Persis) didirikan di Bandung pada permulaan tahun 1920-an ketika orang-orang Islam di daerah-daerah lain telah lebih maju dalam berusaha untuk mengadakan pembaharuan dalam agama. Bandung kelihatan agak lambat memulai pembaharuan ini dibandingkan dengan daerah-daerah lain’ sungguhpun Sarekat Isalam telah beroperasi dikota ini semenjak tahun 1913. kesadaran tentang keterlambatan ini merupakan cambuk untuk mendirikan sebuah organisasi.
 Lahirnya Persis Diawali dengan terbentuknya suatu kelompok tadarusan (penalaahan agama Islam di kota Bandung yang dipimpin oleh H. Zamzam dan H. Muhammad Yunus, dan kesadaran akan kehidupan berjamaah, berimamah, berimarah dalam menyebarkan syiar Islam, menumbuhkan semangat kelompok tadarus ini untuk mendirikan sebuah organisasi baru dengan ciri dan karateristik yang khas. Kelompok tadarus ini bersifat kenduri yang diadakan secara berkala di rumah salah satu seorang kelompok yang berasal dari Sumatera tetapi yang telah lama tinggal di Bandung. Mereka adalah keturunan dari tiga keluarga yang pindah dari Palembang dalam abad ke 18, dan menjalin hubungan erat melalui perkawinan antar keluarga mereka serta diperkuat oleh kepentingan yang sama dalam usaha perdagangan, kemudian berlanjut dengan kontak antara anggota-anggota generasi yang datang kemudian dalam mengadakan studi tentang agama ataupun kegiatan-kegiatan lainnya. Tetapi mereka tidak merasa lagi bahwa mereka dari Sumatera, tetapi telah merasa sebagai benar-benar orang Sunda sehari-hari berbicara bahasa Sunda.[4]
Kelompok tadarusan yang dipimpin oleh H. Zamzam dan H. Muhammad Yunus ini dari lingkungan ketiga familia tadi memang mempunyai pengetahuan yang agak luas. Kedunya sebenernya adalah pedagang tetapi mereka masih mempunyai kesempatan dan waktu untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang Islam. Zamzam (1894-1952) menghabiskan waktunya selama tiga setengah tahun masa mudanya di Makkah di mana ia belajar di lembaga Darul-Ulum. Sekembali dari Makkah ia menjadi guru di Darul Muta’allimin, sebuah sekolah agama di Bandung (ssekitar tahun 1910) dan memjpunyai hubungan dengan Syekh Ahmad Surkati dari Al-Irsyad di Jakarta. Tetapi ia hanya dua tahun saja di sekolah ini. Muhammad Yunus, yang memperoleh pendidikan agama secara tradisional dan mengusai bahasa Arab, tidak pernah mengajar. Ia hanya berdagang, tetapi tidak pernah pula minatnya hilang dalam mempelajari agama. Kekayaanya menyanggupkan ia untuk membeli kitab-kitab yang ia perlukan, juga untuk anggota-anggota Persis setelah organisasi ini didirikan.
Pada tanggal 12 September 1923, bertepatan dengan tanggal 1 Shafar 1342 H, kelompok tadarus ini secara resmi mendirikan organisasi yang diberi nama "Persatuan Islam" (Persis). Nama persis ini diberikan dengan maksud untuk mengembalikan umat Islam kepada tuntunan Al-Qur’an dan Al-Hadits yaitu: mengarahkan ruhul ijtihad dan jihad, berusaha dengan sekuat tenaga untuk mencapai harapan dan cita=cita yang sesuai dengan kehendak dan cita-cita organisasi, yaitu persatuan pemikiran Islam, persatuan rasa Islam, persatuan suara Islam, dan persatuan usaha Islam. Falsafah ini didasarkan kepada firman Allah Swt dalam Al Quran Surat 103 : "Dan berpegang teguhlah kamu sekalian kepada tali (undang-undang (aturan) Allah seluruhnya dan janganlah kamu bercerai berai". Serta sebuah hadits Nabi Saw, yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, "Kekuatan Allah itu bersama al-jama'ah".

Tujuan dan Aktifitas Persis
Pada dasarnya, perhatian Persis ditujukan terutama pada faham Al-Quran dan Sunnah. Hal ini dilakukan berbagai macam aktifitas diantaranya dengan mengadakan pertemuan-pertemuan umum, tabligh, khutbah, kelompok studi, tadarus, mendirikan sekolah-sekolah (pesantren), menerbitkan majalah-majalah dan kitab-kitab, serta berbagai aktifitas keagamaan lainnya. Tujuan utamanya adalah terlaksananya syariat Islam secara kaffah dalam segala aspek kehidupan.
Untuk mencapai tujuan jam'iyyah, Persis melaksanakan berbagai kegiatan antara lain pendidikan yang dimulai dengan mendirikan Pesantren Persis pada tanggal 4 Maret 1936 untuk membentuk kader-kader yang mempunyai keinginan untuk menyebarkan agama. Usaha ini merupakan inisiatif Hassan, pesantren ini di pindahkan kepada Bangil, Jawa Timur, ketika Hassan pindah kesana dengan membawa 25 dari 540 siswa dari Bandung. Pesantren Persis ini berkembang berbagai lembaga pendidikan mulai dari Raudlatul Athfal (Taman kanak-kanak) hingga perguruan tinggi.5.Kemudian menerbitkan berbagai buku, kitab-kitab, dan majalah antara lain majalah Pembela Islam (1929), majalah Al-Fatwa, (1931), majalah Al-Lissan (1935), majalah At-taqwa (1937), majalah berkala Al-Hikam (1939), Majalah Aliran Islam (1948), majalah Risalah (1962), majalah berbahasa Sunda (Iber), serta berbagai majalah yang diterbitkan di cabang-cabang Persis. Selain pendidikan dan penerbitan, kegiatan rutin adalah menyelenggarakan pengajian dan diskusi yang banyak digelar di daerah-daerah, baik atas inisiatif Pimpinan Pusat Persis maupun permintaan dari cabang-cabang Persis, undangan-undangan dari organisasi Islam lainnya, serta masyarakat luas.[5]

Persis Masa Kini
Pada masa kini Persis berjuang menyesuaikan diri dengan kebutuhan umat pada masanya yang lebih realistis dan kritis. Gerak perjuangan Persis tidak terbatas pada persoalan persoalan ibadah dalam arti sempit, tetapi meluas kepada persoalan-persoalan strategis yang dibutuhkan oleh umat Islam terutama pada urusan muamalah dan peningkatan pengkajian pemikiran keislaman.
Dibawah kepemimpinan KH. Shiddiq Amien, anggota dan simpatan Persis beserta otonomnya tercatat kurang lebih dari 3 juta orang yang tersebar di 14 propinsi dengan 7 Pimpinan Wilayah, 33 Pimpinan Daerah, dan 258 Pimpinan Cabang. Bersama lima organisasi otonom Persis, yakni Persatuan Islam Istri, (Persistri) Pemuda Persis, Pemudi Persis, Himpunan Mahasiswa (HIMA) Persis, dan Himpunan Mahasiswi (Himi) Persis, aktifitas Persis telah meluas ke dalam aspek-aspek lain tidak hanya serangkaian pendidikan, penerbitan dan tabligh, akan tetapi telah meluas ke berbagai bidang garapan yang dibutuhkan oleh umat Islam melalui bidang pendidikan (pendidikan dasar/menengah hingga pendidikan tinggi), da'wah, bimbingan haji, perzakatan, sosial ekonomi, perwakafan, dan perkembangan fisik yakni pembangunan-pembangunan masjid dengan dana bantuan kaum muslimin dari dalam dan luar negri, menyelenggarakan seminar-seminar, pelatihan-pelatihan, dan diskusi (halakoh) pengkajian Islam. Demikian pula fungsi Dewan Hisbah sebagai lembaga tertinggi dalam pengambilan keputusan hukum Islam di kalangan Persis serta Dewan Hisab dan Dewan Tafkir semakin ditingkatkan aktifitasnya dan semakin intensif dalam penelaahan berbagai masalah hukum keagamaan, perhitungan hisab, dan kajian sosial semakin banyak dan beragam.[6]

E. Muhammadiyah
Muhammadiyah merupakan sebuah organisasi Islam modern yang berdiri di Yogyakarta pada 18 November 1912. Organisasi ini terbentuk karena masyarakat islam yang berpandangan maju menginginkan terbentuknya sebuah organisasi yang menampung aspirasi mereka dan menjadi sarana bagi kemajuan umat islam. Keberadaan tokoh-tokoh Islam yang berpandangan maju tersebut terbentuk karena pendidikan serta pergaulan dengan kalangan Islam di seluruh dunia melalui ibadah haji. Salah seorang tokoh tersebut ialah KH. Ahmad Dahlan yang kemudian mendirikan organisasi ini. Muhammadiyah didirikan atas dasar agama dan bertujuan untuk melepaskan agama Islam dari adat kebiasaan yang jelek yang tidak berdasarkan Al-Qur’an dan sunnah Rasul.[7]

Hal-hal yang berkaitan dengan paham agama dalam Muhammadiyah secara garis besar dan pokok-pokoknya ialah sebagai berikut:
                                                        
a)      ‘Aqidah; untuk menegakkan aqidah Islam yang murni, bersih dari gejala-gejala kemusyrikan, bid’ah dan khurafat, tanpa mengabaikan prinsip toleransi menurut ajaran Islam.
b)       Akhlaq; untuk menegakkan nilai-nilai akhlaq mulia dengan berpedoman kepada ajaran-ajaran Alquran dan Sunnah Rasul, tidak bersendi kepada nilai-nilai ciptaan manusia
c)         ‘Ibadah; untuk menegakkan ‘ibadah yang dituntunkan oleh Rasulullah S.A.W. tanpa tambahan dan perubahan dari manusia
d)        Mu’amalah dunyawiyat; untuk terlaksananya mu’amalah dunyawiyat (pengolahan dunia dan pembinaan masyarakat) dengan berdasarkan ajaran Agama serta menjadikan semua kegiatan dalam bidang ini sebagai ‘ibadah kepada Allah SWT. [8]

Pendidikannya
Semasa kecilnya, Ahmad Dahlan tidak pernah bersekolah secara resmi ke lembaga-lembaga pendiidkan yang ada saat itu karena orang-orang Islam pada saat itu melarang anak-anaknya untuk memasuki sekolah Gubernemen. Tapi walaupun beliau tidak berseklah di lembaga pendidikan, beliau mendapat pendidikan langsung dari ayahnya yang seorang ulama.[9] Selain belajar secara langsung kepada ayahya, dia juga mendapakan pendidikan dari pengajian-pengajian yang diadakan di Yogyakarta yang meliputi nahwu, fiqih, tafsir, dan lain-lain. Dengan bantuan kakaknya (Nyai Haji Saleh), pada tahun 1890 melanjutkan pendidikannya ke Mekkah, dan belajar disana selama satu tahun.
Di Mekkah, KH Ahmad Dahlan bertemu dengan KH Baqir seorang alim dari Kauman Yogyakarta yang bermukim di Mekkah dan membantu mengajarkan ilmu agama kepada KH Ahmad Dahlan. KH Baqir juga mempertemukan KH Ahmad Dahlan dengan Rasyid Ridha dan berdiskusi untuk bertukar pikiran dalam rangka semangat pembaharuan, dan semangat pembharuan ini yang benar-benar diresapi oleh KH Ahmad Dahlan saat itu.
[10]

Usaha Muhammadiyah di Bidang Pendidikan

1. Dasar dan Fungsi Lembaga Pendidikan yang menjadi dasar pendidikan Muhammadiyah adalah:
a)      Tajdid: kesediaan jiwa berdasarkan pemikiran baru untuk mengubah cara berpikir dan cara berbuat yang sudah terbiasa demi mencapai tujuan pendidikan.
b)      Kemasyarakatan: antara individu dan masyarakat supaya diciptakan suasana saling membutuhkan. Yang dituju adalah keselamatan masyarakat sebagai suatu keseluruhan.
c)      Aktivitas: anak didik harus mengamalkan semua yang diketahuinya dan menjadikan pula aktivitas sendiri sebagai salah satu cara memperoleh pengetahuan yang baru.
d)      Kreativitas: anak harus mempunyai kecakapan atau keterampilan dalam menentukan sikap yang sesuai dan menetapkan alat-alat yang tepat dalam menghadapai situasi-situasi baru.
e)      Optimisme: anak harus yakin bahwa dengan keridhaan Tuhan, pendidikan akan membawanya kepada hasil yang dicita-citakan, asal dilaksanakan dengan penuh dedikasi dan tanggung jawab, serta menjauhkan diri dari segala sesuatu yang menyimpang dari segala yang digariskan oleh agama Islam
.
Adapun lembaga pendidikannya berfungsi sebagai berikut:

a. Alat dakwah ke dalam dan ke luar anggota-anggota Muhammadiyah. Dengan kata lain, untuk seluruh anggota masyarakat
b. Tempat pembibitan kader; yang dilaksanakan secara sistematis dan selektif, sesuai dengan kebutuhan Muhammadiyah khususnya, dan masyarakat Islam pada umumnya.
c. Gerak amal anggota; penyelenggaraan pendidikan diatur secara berkewajiban terhadap penyelenggaraan dan peningkatan pendidikan itu, dan akan menyekolahkan anak-anak mereka ke sekolah-sekolah Muhammadiyah.
Muhammadiyah mendirikan berbagai jenis dan tingkat pendidikan, serta tidak memisah-misahkan antara pelajaran agama dan pelajaran umum. Dengan demikian, diharapkan bangsa Indonesia dapat dididik menjadi bangsa yang utuh berkepribadian, yaitu pribadi yang berilmu pengetahuan umum luas dan agama yang mendalam.
Pada zaman pemerintah kolnial Belanda, sekolah-sekolah yang dilaksanakan Muhammadiyah adalah:
a)      Sekolah Umum, Taman Kanak-kanak (Bustanul Atfal), Vervolg School 2 tahun, Schakel School 4 tahun, HIS 7 tahun, MULO 3 tahun, AMS 3 tahun, dan HIK 3 tahun. Pada sekolah-sekolah tersebut diajarkan pendidikan agama Islam sebanyak 4 jam pelajaran seminggu.
b)      Sekolah Agama: Madrasah Ibtidaiyah 3 tahun, Tsanawiyah 3 tahun, Mualimin/Muallimat 5 tahun, Kulliatul Muballigin (SPG Islam) 5 tahun.
Pendidikan yang diselenggarakan Muhammadiyah mempunyai andil yang sangat besar bagi bangsa dan Negara, dan tentu saja menghasilkan keuntungan-keuntungan diantaranya:
1.      Menambah kesadaran nasional bangsa Indonesia melalui ajaran Islam
2.      Melalui sekolah-sekolah Muhammadiyah, ide-ide reformasi Islam secara luas disebarkan.
3.      Mempromosikan kegunaan ilmu pengetahuan modern. Selanjutnya pada zaman kemerdekaan, sekolah Muhammadiyah mengalami perkembangan yang pesat. Pada dasarnya, ada empat jenis lembaga pendidikan yang dikembangkan, yaitu:
a)      Sekolah-sekolah umum yang bernaung di bawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, yaitu: SD, SMTP, SMTA, SPG, SMEA, SMKK dan sebagainya. Pada sekolah-sekolah ini diberikan pelajaran agama sebanyak 6 jam seminggu.
b)       Madrasah-madrasah yang bernaung di bawah Departemen Agama, yaitu: (MA). Madrasah-madrasah ini ada setelah adanya SKB 3 menteri tahun 1976 dan SKB 2 Menteri tahun 1984, mutu pengetahuan umumnya sederajat dengan pengetahuan dari sekolah umum yang sederajat.
c)      Jenis sekolah atau Madrasah khusus Muhammadiyah, yaitu: Muallimin, Muallimat, Sekolah Tabliq dan Pesantren Muhammadiyah.
d)      Perguruan Tinggi Muhammadiyah: untuk Perguruan Tinggi Muhammadiyah umum di bawah pembinaan Kopertais (Depdikbud), dan Perguruan Tinggi Muhammadiyah Agama di Bawah pembinaan Kopertais (Departemen Agama).
Strategi Pengembangan Pendidikan
System pendidikan yang dikembangkan adalah sistesis antara system pendidikan Islam tradisional yang berbasis di Pesantren dan system pendidikan modern. Tujuan akhir (the ultimate goal) yang hendak dicapai ialah menghasilkan lulusan yang memiliki pengetahuan umum yang memadai atau istilah yang tren sekarang “ulama intelek”.
Sikap Muhammadiyah yang mengambil jalan tngah dalam system pendidikannya, membawa pengaruh atau efek cukup luas pada perkembangan kehidupan keagamaan di Indonesia.

Pesantren Muhammadiyah
Pertama kali KH. Ahmad Dahlan mencoba mendirikan pesantren yang dinamakan dengan “Pondok Muhammadiyah” pada tahun1912. Karel A. Steenbrink dalam bukunya Pesantren, Madrasah dan Sekolah, mencatat bahwa pada tahun 1968, pimpinan Muhammadiyah di Yogyakarta mencoba membuat pola pendidikan baru yang dinamakan “Pendidikan Ulama Tarjih”. Usaha itu dimulai dengan membentuk suatu kelompok dengan anggota paling banyak 25 orang. Kelompok ini selama tiga tahun secara tetap belajar pada seorang guru (Kyai) seperti di Pesantren. Waktu belajar dilaksanakan disekitar waktu shalat. Pelajaran diberikan tiap hari, kecuali hari jum’at. Tidak mengenal hari libur dan tidak mengenal ijazah yang diakui pemerintah. Selama jam belajar, para santri tidak belajar di atas bangku melainkan bersila di atas lantai. Pada tahun kedua, diberikan pelajaran tambahan bahasa Indonesia, bahasa Inggris dan ilmu pendidikan.[11]
Organisasi Muhammadiyah tersebar ke seluruh pelosok tanah air, secara vertical dan diorganisasikan dari tingkat pusat, wilayah, daerah, cabang, dan ranting. Untuk menangani kegiatan yang beragam tersebut dibentuklah kesatuan-kesatuan kerja yang bertugas membentuk Pimpinan Perserikatan menurut bidangnya masing-masing.
Kesatuan-kesatuan kerja ini berbentuk majelis-majelis, antara lain: Majelis Tarjih, Majelis Tabligh, Majelis Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan, Majelis Pembinaan Kesejahteraan Umat (PKU), Majelis Pustaka, dan Majelis Bimbingan Pemuda.
Ada juga organisasi-organisasi otonom di bawah naungan Muhammadiyah seperti Aisyiyah (bagian wanitanya), Nasyiatul Aisyiyah (bagian putrid-putrinya), Pemuda Muhammadiyah, dan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM). Di bidang kepanduan juga terdapat Hizbul Wathan
.

F. Nahdatul Ulama (Nu)
Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama atau Kebangkitan Cendekiawan Islam), disingkat NU, adalah sebuah organisasi Islam besar di Indonesia. Organisasi ini berdiri pada 31 Januari 1926 dan bergerak di bidang pendidikan, sosial, dan ekonomi. Sebab jauh sebelum NU lahir dalam bentuk jam’iyyah (organisasi), ia terlebih dahulu mewujud dalam bentuk jama’ah (community) yang terikat kuat oleh aktivitas sosial keagamaan yang mempunyai karakter tersendiri.[12]
Dalam Anggaran Dasar hasil Muktamarnya yang ketiga pada tahun 1928 M, secara tegas dinyatakan bahwa kehadiran NU bertujuan membentengi artikulasi fiqh empat madzhab di tanah air. Sebagaimana tercantum pada pasal 2 Qanun Asasi li Jam’iyat Nahdhatul al-Ulama (Anggaran Dasar NU), yaitu :
a)      Memegang teguh pada salah satu mazhab empat( salah satu dari Imam Muhammad bin idris Al-Syafi’I, Imam Malik bin Anas, Imam Abu Hanifah an-nu’man, dan Ahmad bin Harbal)
b)      Menyelenggarakan apa saja yang menjadikan kemaslahatan umat Islam
Tahun 1927 baru tujuan organisasi dirmuskan. Organisasi ini bertujuan memperkuat iakatan salah satu dari empat mazab serta untuk melakukan kegiatan yang bermanfaat untuk anggotanya. Kegiatan ini meliputi usaha antar para aulama yang masih berpegang teguh pada mazab.Dengan demikian tampak bahwa NU bermaksuf mempertahankan praktek keagamaan yang sudah menstradisi. NU memberikan perhatian yang besar pada pendidikan, khusnya pendidikan tradisional. NU mendirikan madrasah dengan model barat, sampai akhir tahun1956 komisi perguruan  NU mengeluarkan reglement tentang susunan madrasah-madrasah NU yang terdiri dari:
1.       Madrasah awaliyah
2.       Madrasah ibtidaiyah
3.       Madrasah tsanawiyah
4.       Madrasah mu’alimin wusta
5.       Madrasah mu’alimin ulya.
NU mendapat kesulitan untuk memprakarasai pembharuan pendidikan dilingkungan pesantren pedesaan. Usaha tersebut pernah dirintis oleh KH Muhamad Ilyas. Mohhamad ilyas juga memperkenalkan sistem pengajaran bahasa belanda di HIS pada pesantren. Pembaharuan pendidikana dipesantren ini mendapat reaksi hebat dari orang Tua wali. Mereka memindahkan anak-anaknya kepesantren lain karena Tebuireng sudah terlalu modern. Motifasi utama berdirinya NU adalah mengorganisasikan potensi dan peranan ulama’ pesantren yang sudah ada, untuk ditingkatkan dan dikembangkan secara luas untuk diguakan sebagai wadah untuk mempersatukan dan menyatukan langkah para ulama’ pesantren dalam tugas pengabdian yang tidak terbatas pada masalah kepesantrenan dan kegiatan ritual Islam saja, tetapi lebih ditingkatkan lagi agar para ulama’ lebih peka terhadap masalah-masalah sosial, ekonomi dan masalah kemasyarakatan pada umumnya.    [13]
















III.           KESIMPULAN
Sejarah telah membuktikan bahwa tidak ada masyarakat yang Statis, semua pasti mengalami perubahan dan perkembangan. Menurut saya salah satu faktor penting yang mendorong perubahan dan perkembangan itu adalah adanya kontak pergaulan dengan masyarakat yang lebih maju sehingga terangsang untuk mengejar ketertigalannya atau bisa sejajar dengan mitra pergaulannya. Pada permulaan abad ke-20 banyak orang Islam di Indonesia mulai menyadari bahwa mereka tidak akan dapat menyaingi kekuatan kolonialisme penjajahan Belanda dan mengejar ketertinggalan dari Barat, apabila mereka melanjutkan cara-cara yang bersifat trdisional dalam menegakkan ajaran Islam golongan ini merintis cara-cara baru dalam memahami dan mengembangkan ajaran-ajaran Islam ditengah-tengah masyarakat oleh sebab itu, mereka disebut kaum pembaharu.
Para pembaharu di Indonesia mengikuti jejak kaum pembaharu di Timur Tengah, terutama yang berpusat di Mesir. Mereka berkenalam dengan gagasan tajdid melalui bacaan dan pertemuan langsung dengan tokoh-tokohnya sewaktu mereka menuntut ilmu di Timur Tengah. Terutama di Al-Haramain atau dua tanah suci yaitu Mekkah dan Madinah. Menurut kami disimpulkan pembaharuan yang dilakukan Jami’atul Khair, dan Al-Irsyad secara garis besar dapat dirumuskan sebagai berikut:
a. menyegarkan pemahaman ajaran Islam dengan membuka kembali pintu Ijtihad.                 b. Mengembangkan pemikiran rasional.                                                                                               c. Memurnikan Aqidah umat Islam.
Berdasarkan uraian maka dapat disimpulkan bahwa Persatuan Islam merupakan organisasi Islam yang berdiri di Bandung, yang pada saat itu keadaannya memang lambat dalam mengadakan pembaharuan dalam agama. Tidak hanya persatuan Islam masih banyak organisasi Islam lain tujuannya sama untuk pembaharuan pendidikan. Walaupun, sebenarnya organisasi lain yang pada saat itu sudah ada. Kesadaran tentang hal keterlambatan ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan timbulnya Persatuan Islam. Persatuan Islam pada masanya berusaha untuk memajukan agama Islam dan mengembalikan Syari’at Islam kepada asal muasal dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dan hingga kinipun Persis mampu berdiri tegak dalam meluruskan Syari’atau Islam dalam berbagai macam hal ataupun masalah yang ada dinegara kita Indonesia.


[2] Enung K. Rukiati,2006 Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Bandung:pustaka hlm 53
[3] http://www.republika.co-jamiat-kheir-perlawanan-melalui-pendidikan.

4 Zuhairi.dkk, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), hal: 187
[5] M.Mukhsin Jamil, 2007, Nalar Islam Nusantara,Jakarta:depag hlm. 97
[6] Zuhairini,1994,Sejarah pendidikan islam. Jakarta:Bumi Aksara. Hlm.106
[7] Nana Supriatna, Jil.2, 2008: 171-172).
[8] http:// www.blog.umy.ac.id).
[9] Bolland, Pergumulan Islam di Indonesia, 1985,Jakarta: Grafitti Press.
[10] Abdullah,1989, Tradisi Dan Kebngkita Islam di Asia Tenggara, ,Jakarta: Lp3 Press,


Karel: 1986, alam Enung dan Fenti, 2006:hlm 46
[12] (Ridwan, 2004: hal.169).
[13] Noer,1980, Gerakan Modern Islam di Indonesia, Jakarta:Lp3 Press

2 komentar: